Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Kamis, 08 Juli 2010

50.000 Rupiah dan Mabo Taya Tante


Saya pernah menjanjikan kepada seorang tukang yang sedang mengerjakan rumah saya di sebuah BTN baru di belakang sebuah BTN lama, untuk membelikannya sebungkus rokok.

“Kita suka rokok apa, Pak”, tanya saya.
“Sembarang saja, saya isapji semua”, katanya.

Mata saya langsung tersenyum karena jawabannya mengingatkan saya pada dua orang teman saya yang juga biasa mengisap sembarang merk rokok. Tapi dengan catatan, jika kepepet.

Suatu hari, saya berkunjung ke rumah saya yang sementara dipasang tehelnya itu. Dia menyambut saya dengan mata bercahaya. Pasti tahu maksudnya, kan. Dia menunggu saya memberikan dia rokok. Tapi benar-benar saya khilaf. Saya lupa membelikannya sebuah rokok.

Minggu berikutnya saya datang lagi, dan matanya bercahaya lagi. Ia sudah memasang atap seng di rumah saya. Sekali lagi, saya sudah tahu maksud kilatan cahaya matanya. Mana rokoku bos! Mana janjimu bos! Mungkin itu kata hatinya.

Akan tetapi hari itu, saya benar-benar tidak memiliki uang yang cukup untuk membelikannya rokok.

Saya merasa bersalah dan ingkar janji. Begitu pula ketika saya datang ketiga kalinya. Rokok itu tetap saya lupa belikan. Dan kilatan cahaya matanya sudah muram. “Ah, saya tauji, pasti tidak ada lagi rokok kobawakan saya to”. Mungkin ia bilang begitu. Sa’ bosanmi menunggu!

Sebulan lamanya baru saya punya waktu mengunjungi rumah baru saya. Rumah saya sudah jadi. Dan si tukang kecil dan bertubuh kerdil itu sudah tidak ada. Jangan-kangan ia sudah pulang ke kampungnya. Dosa besar segera terbayang di kepala saya.

“Halo bos, rumahmu sudah selesaimi. Tinggal kita tinggali saja”.

Si tukang itu berteriak dari atas sebuah rumah yang sementara ia kerjakan lagi. Saya yakin, ia masih ingat janjimu taroe dari saya. Dan memang benar, lagi-lagi dan lagi-lagi saya lupa sang rokok.

Tiga minggu yang lalu, saya mengecek rumah itu untuk persiapan pindah. Tiba-tiba saya dikejutkan seseorang yang masuk ke dalam rumah sambil bicara:

“Saya kasian yang kerja ini rumah sampai selesai. Pokonya, saya pilihkan kita tehel yang ijo semua pak. Coba kita liat rumah lain, tehel kamar mandinya tidak sama warna, kata si tukang itu.

Inilah kesempatan memenuhi janji saya, batinku. Kucabutlah dompet lusuhku. Kutarik uang 20.000 rupiah. Lalu kusodorkan kepadanya.

“Wah terima kasih pak. Saya mau pergi beli obat kasian. Panas saya punya badan ini”.

Besoknya, kakak saya yang juga memiliki rumah di BTN baru di belakang BTN lama itu, bercerita bahwa kemarin ia ketemu dengan si tukang itu sementara minum bir did lam rumah yang sementara dikerjakannya.

Sambil teler ia bercerita.

“Itu adekmu kasian baik sekali. Tadi dia kasih saya uang 50.000 rupiah. Saya kasian yang kerja itu rumahnya”.

Mendengar kata 50.000 rupiah, saya langsung bilang, wah tidak benar itu, saya memberinya cuma 20.000.

Mungkinkah saya memang memberinya 50.000, tapi saya lupa?
Atau mungkin saya memberinya 20.000 lalu disulap oleh malaikat jadi 50.000?
Atau karena “mabo taya tante” sehingga ia lupa juga dan salah sebut?

Nah, tadi pagi ini, Jumat, 9 Juli 2010, saya kembali melihat dia sementara berdiri di atas dindung rumah sambil menerima ember berisi campuran semen dari sesame tukangnya, seorang perempuan yang menutup mukanya kaya’ ninja.

Saya terharu juga melihatnya. Saya langsung ingat, rokok, uang 20.000, dan uang 50.000. © ©

1 komentar:

me2t UKS mengatakan...

keren templetx kanda... salut...
tp kayaknya perlu read more untuk artikelx spy lebih ringkas...
anyway keren deh...