Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Selasa, 15 Februari 2011

Purnami yang Manis, dan Gugatan Perbenturan Sosio-Kultural dalam Ide Tulisan


(catatan ringan dari diskusi Satellite Event Ubub Writers & Readers Festival 2010 , Cafe Lapiaza, Kamis 10 Februari 2011)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

RUANG duabelas kali tujuh meter persegi pada Kamis malam, 10 Februari 2011, itu dipenuhi para sastrais muda Kendari. Beberapa budayawan kawakan Sultra juga hadir. Lima buah kursi menemani meja panjang yang diatur rapi membelakangi backdrop bertulis Satellite Event Ubud Writers & Readers Festival 2010.

Di luar Cafe Lapiaza, petir sesekali menerangi malam yang beranjak, menemani gerimis yang jatuh sejak petang. Tiba tiba hujan lebat berbaur angin, hampir saja menciutkan nyali panitia acara malam itu. Tentu saja, kondisi macam itu, dapat membuat banyak undangan tak bisa hadir. Tapi mereka kembali tersenyum, saat hujan mereda, satu per satu kawan kawan sastrais Kendari berdatangan, memenuhi tempat itu. Sebagian basah oleh gerimis yang menyisa.

Community Development Manager UWRF, Kadek Purnami
Community Development Manager UWRF, Kadek Purnami, dan I Wayan Juniartha serta M. Aan Mansyur telah datang sekitar 10 menit sebelum tengat acara yang dipatok pukul 19.30 waktu Indonesia bagian Timur. Agar lebih menikmati acara malam itu, saya bersama penyair Adhy Rical mengambil tempat duduk agak pojok, dekat kerai bambu, membelakangi jalan Sao Sao yang telah kuyup oleh hujan.
Suasana hangat di Cafe Lapiaza cukup menenangkan semua orang. Apalagi bagi sastrawan Syaifuddin Gani, dari Teater Sendiri yang bertindak sebagai koordinator acara. Kegiatan pendukung sebagai bagian dari promo Ubud Writers & Readers Festival 2010, memang antara lain hendak membedah buku ‘Bhineka Tunggal Ika’ Harmony in Diversity, yang diselaraskan dengan diskusi, pembacaan puisi, pemutaran film pendek UWRF di Bali 2010, yang barusan kelar Oktober lalu.

Sebelum memasuki inti acara, kami semua dihibur dengan pembacaan puisi oleh penyair Irianto Ibrahim, penyair Syaifuddin Gani, penyair M. Aan Mansyur, Sulprina Rahmin Putri, Galih, Sendri Yakti,  Laode Gusman Nasiru dan Frans Patadungan. Suguhan sebuah puisi yang sangat kuat, Perahu Kanak-Kanak karya Irianto Ibrahim, ikut membangun gairah setiap orang yang malam itu tampak “kedinginan”.

Semakin hangat suasana, saat seorang remaja bernama Debora Grace L, melagukan "Mei" puisi Joko Pinurbo, dan sebuah puisi lain milik Hamdy Salad. Suara merdu Debora, demikian ritmik melagukan dua puisi itu. Seandainya saja malam itu, Joko Pinurbo dan Hamdy Salad hadir, saya sangat yakin mereka berdua kelak mau sepanggung dengan Debora ini.

Debora Grace L, melagukan "Mei" puisi Joko Pinurbo, dan sebuah puisi lain milik Hamdy Salad

Lalu acara dimulai. Panitia UWRF langsung menyuguhkan ke mata sastrawan Kendari sebuah film pendek UWRF 2010. Wajah wajah sastrais Indonesia silih berganti dengan beberapa sastrais asing yang menjadi peserta dan tamu UWRF 2010. Kurnia Effendi berkomentar soal kenyaman lokasi acara sejak pertama kali dia datang, lalu silih muncul Sitor Situmorang, Sutardji C. Bachri, bahkan Head Chief of CitiBank Indonesia. Footage saling berlapis cepat, menyuguhkan pada mata beragam acara selingan dalam UWRF. Ramai, menarik, dan prestisius tentunya. Ubud Writers & Readers Festival memang dikemas sangat apik oleh Mudra Swari Saraswati Foundation, yang didukung penuh oleh Hivos, sebuah lembaga nirlaba yang bertujuan memajukan literasi dan perdamaian.

Tercatat di situs resmi UWRF, pada perhelatan 2010 lalu, dari 143 peserta yang diundang, 37 peserta adalah partisipan tuan rumah, Indonesia, sedang sisanya berasal dari berbagai negara (49 diantaranya dari Australia).

Dalam monolognya selepas penayangan film pendek, Kadek Purnami yang manis itu, mengatakan bahwa UWRF berangkat dari gagasan besar mempromosikan kembali Bali seusai dua kali tragedi bom. Mengembalikan Bali sebagai kota perdamaian, kota kultur, bahwa rakyat Bali khususnya, dan Indonesia pada umumnya, tidak akan tunduk dengan aksi negatif pada kemanusiaan macam itu. UWRF juga hendak menegaskan posisi atas gagasan tersebut dalam bentuk literasi perdamaian yang berpokok pada keragaman budaya dalam kesatuan. Itulah mengapa UWRF mengambil tema Bhineka Tunggal Ika pada perhelatan 2010. Tema yang beragam telah menghias tujuh sepuluh kali penyelenggaraan UWRF sebelumnya, sejak 2003 silam.

“Secara keseluruhan, mencerminkan keberagaman daerah serta kantong-kantong kesusasteraan di Indonesia. Juga mencerminkan keragaman genre, aliran, tema, dan kecenderungan kesusasteraan Indonesia, yang mempresentasikan penghormatan Ubud Writers & Readers Festival pada upaya memajukan penulis-penulis muda berkualtas,” jelas Purnami.

Kebangsaan penulis bukan hal terpenting. Karya dan kiprahnya yang berkaitan dengan tema festival yang menjadi pertimbangan utama UWRF. “Pemilihan peserta undangan lebih didasari kriteria yang berkaitan dengan dunia kepenulisan dan perbukuan. Tidak ada di luar hal itu,” tambah I Wayan Juniartha.

Intinya, Purnami hendak menegaskan, bahwa Mudra Swari Saraswati Foundation dan Hivos berkeinginan kegiatan UWRF yang mereka gagas dan laksanakan itu untuk menampilkan para penulis muda berkualitas dari jumlahnya yang banyak itu. Dari beberapa penyelenggaraan, UWRF mendapat pujian dan apresiasi yang sangat baik, tidak saja dari kalangan penulis muda, tetapi juga dari para penulis kawakan yang sengaja diundang pada UWRF.

Penjelasan yang konprehensif dan detil itu, ditambah wajah manis Purnami, agaknya membuat semua yang hadir segera faham seperti apa dan bagaimana gagasan besar UWRF itu. “Penjelasannya oke...yang ngejelasinnya juga manis,” celetuk seorang sasrais tepat di samping saya. Saya hanya tersenyum dengan celetuk itu. Tapi, paras Purnami memang manis malam itu, yang berhias dengan dandanan batik berpunggung belah rendah, dipadankan legging hitam dan sepatu merah datar.

Yang menarik pada acara malam itu, saat buku ‘Bhineka Tunggal Ika’ Harmony in Diversity, ikut dibedah oleh peserta bersama pihak UWRF. Prosa Batubujang karya Benny Arnas antara lain menjadi topik pembicaraan, bersama karya lain; prosa Barong karya Sunaryono Basuki Ks, prosa La Runduma karya Waode Wulan Ratna.

Ikut disikusikan juga beberapa puisi, macam; Gerombolan Sepeda karya Andha S., Lukisan yang Hendak Diselesaikan karya Arif Rizki, dan Pesta Makan Laba-Laba karya Wendoko. Saya sendiri ikut mengulas prosa Batubujang (B. Arnas) dan puisi Suluk Bunga Padi (A. Muttaqin).

Prosa Batubujang karya B. Arnas, disepakati oleh para peserta malam itu sebagai prosa yang kuat. Pilihan kata yang digunakan Benny Arnas tidak menjadi soal, namun beberapa peserta memang tertarik pada muatan sosio-kultural yang disuguhkan Benny dalam prosanya itu. Bahwa Benny dikatakan hendak mengajukan dua soal kekinian yang memang sangat akrab disekeliling orang kampung, yakni perbenturan tradisi lokal dan tradisi modern. Benny hendak menunjukkan pada pembacanya, bahwa perbenturan macam itu memang sukar dihindari namun bukan berarti tidak bisa ditemukan titik tengahnya. Menurut Syaifuddin Gani, ide Benny cenderung orisinil dan mengakhiri perdebatan pada dua mainstream tradisi ini dengan tak satupun pihak yang dimenangkan. Karakter pak Mur akhirnya mati tertimpa batubujang yang dibela-belanya, sedang Mang Jali harus kembali ke Lubuk Senalang, membengkalai pekerjaan, sebab investor pun menarik diri dari proyek itu.

Barangkali memang demikian maksud yang hendak dibenam Benny dalam Bajubajang-nya, yang kemudian ditangkap oleh kawan kawan malam itu. Tetapi bagi saya pribadi, yang ikut memberikan apresiasi pada putaran ketiga, Benny memang ikut mengetengahkan realitas perbenturan tersebut. Tapi itu hanya cara Benny saja untuk mengantar protesnya pada kerja kerja kebanyakan LSM lingkungan yang kerap tak bertanggungjawab. Itu dikemas rapi oleh Benny, bahkan sejak dari paragraf ke empat dari 58 paragraf panjang prosanya.

Anas juga tak habis pikir, bagaimana penduduk bisa lebih mendengarkan ajakan pemerintah kota. Orang-orang berseragam coklat itu selalu berseru panjang lebar perihal penggunaan batamerah, untuk menyemen parit dan membuat jalan-jalan kecil—mereka menyebutnya “trotoar”—di pinggir jalan raya yang baru mulai dibangun beberapa minggu yang lalu. Mengapa pula penduduk patuh pada orang-orang LSM yang katanya peduli lingkungan tapi tak sedikitpun peduli pada kehidupan orang lain. Para ‘pecinta alam’ itu selalu berkoar-mengajak orang-orang kampung agar tidak menggunakan batubujang bila hendak menyemen parit, memperkuat dinding-dinding beton rumah tua, atau bentuk pekerjaan lain, yang memungkinkan batubujang dipilih sebagai bahan bakunya. (Paragraf ke-4, Batubajang, Benny Arnas).

Cukup telak, Benny, mengemukakan pendapatnya yang dia bungkus rapi pada Batubajang-nya itu. Dalam kenyataannya memang benarlah apa kata Benny. Kebanyakan LSM yang mambangun site di tengah masyarakat, sekadar menjalankan proyek pemerintah atau proyek yang didonori asing belaka. Setelah usai pekerjaan mereka itu, merekapun pergi. Meninggalkan masyarakat yang masih saja hidup kekurangan. Bukankah persoalan lingkungan hidup adalah persoalan kemasyarakatan juga. Justru di masyarakat itulah intinya. Jika masyarakat tak terbangun (ekonomi dan sosial), mana mungkin lingkungan akan ikut terjaga. Ketimbang membuang uang untuk membeli minyak tanah, misalnya, masyarakat yang berekonomi lemah akan lebih memilih masuk hutan untuk mencari kayu bakar. Menangkapi hewan langka untuk dijual dengan harga mahal. Untuk realitas macam ini, Benny telah tepat mengetengahkannya.

Buku 'Bhineka Tunggal Ika’ Harmony in Diversity (UWRF 2010)

Beberapa mahasiswa penggiat sastra juga berusaha menelaah isi buku Bhinaka Tunggal Ika kaitannya dengan beberapa karya yang ada didalamnya. Bahwa buku tersebut tidak sedemikian dapat langsung mempesonakan keberagaman (diversity) dalam konteks adat-budaya. “Serangan” dimulai dari La Runduma karya Waode Wulan Ratna, yang mengugat perlawanan batin dan laku seorang perempuan muda dalam adat pingitan (posuo—adat Buton) di kampungnya. Penentangan si perempuan muda berpuncak pada laku terlarangnya dengan lelaki pilihannya dalam kamar (tempat di mana adat Posuo itu difokuskan) di hari akhir prosesi adat tersebut.

Kritik keras perihal ide prosa ini datang dari budayawan dan seniman Laode Djagur Bolu. Menurut Djagur, sebatas literasi yang berangkat dari ide kreatif penulisnya, maka La Runduma sepenuhnya bisa diterima, tetapi jika telah mengugat dasar tradisi suatu komunitas adat-budaya maka akan lancung menajamkan friksi. Literasi sebagai salah satu produk budaya-manusia, menurut Djagur akan berpotensi mengkooptasi pandangan penikmat literasi usia muda yang mengkonsumsi literasi tersebut. Diperparah, jika para remaja penikmat literasi kurang bisa mencari literasi pembandingnya, sehingga literasi awal yang mereka baca seketika membentuk presepsi tunggal. Kecemasan budayawan Djagur itu memang beralasan, sehingga I Wayan Juniartha menanggapinya dengan santun. Lelaki tampan bertubuh subur itu, menegaskan pihaknya akan ikut memperhatikan aspek tersebut. Namun, Juniartha juga menyarankan agar sebuah karya literasi semestinya “dilawan” dengan literasi juga.

Masih terkait dengan itu, seorang penikmat sastra lainnya, Irfan Ido, juga ikut menyuarakan pendapatnya sehubungan prosa Madakaripura, yang dinukil dari novel Niskala, karya Hermawan Aksan. Pada prosa, atau novel itu, menurut Irfan, telah terjadi pendobrakan sejarah perihal figur Gajahmada, yang oleh penulisnya digambarkan sebagai penindas dan penakluk. Novel Niskala sendiri memang diangkat dari kisah kuno Perang Bubat perihal perang antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit (Jawa). Peristiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14, sekitar tahun 1360 Masehi.

Menurut Irfan, pendobrakan sejarah yang dilakukan Hermawan sudah pasti berlandaskan ide tertentu, tetapi seketika akan menampilkan wajah  lain dari Gajahmada yang selama ini dikenal umum sebagai tokoh pemersatu. Kendati membawa cara pandang baru, semestinya, kata Irfan, Hermawan juga mempertimbangkan perasaan sosio-historycal masyarakat Jawa dan Sunda.

M. Aan Mansyur menjawab kecemasan Ifran, bahwa novel Niskala, yang dipetik ke bentuk prosa Madakaripura dalam buku itu, hanyalah bentuk keberagaman atas ide kepenulisan. Hermawan rupanya, hendak menampilkan sosok lain dari Gajahmada yang selama ini luput dikenal umum.

Secara garis besar, saya sepakat dengan Aan Mansyur. Menurut saya, orang harus diberikan alternatif perspektif perihal sosok Gajahmada ini. Gajahmada memang benar kerap tampil dalam pembacaan sebagai sosok pemersatu Majapahit (Mataram), tetapi bukankah langkah pemersatuannya itu dilakukan lewat jalan penaklukan? Artinya, Gajahmada harus dilihat dalam perspektif yang imparsial, yakni Gajahmada sebagai permersatu sekaligus sebagai penakluk. Dua karakter tugas yang dilakukannya dalam waktu bersamaan.

Tidak beberapa karya di atas saja yang dinilai memuat ide perbenturan sosio-kultural, sosio-knowledge, dan sosio-history. Pada putaran ketiga, saya pun sempat mengapresiasi puisi Suluk Bunga Padi karya A. Muttaqin, yang sempat dinilai pada sesi pertama sebagai karya sosio-kultural. Barangkali berbeda cara pandang, saya justru menenggarai bahwa ide dasar A. Muttaqin dalam Suluk Bunga Padi, adalah hendak menggugah kegamangan sosio-attitude masyarakat sekarang yang dicitrakannya melalui padi.

A. Muttaqin, barangkali, mencoba bersabar pada sikap ketidak-pedulian masyarakat lokal dan peran pemerintah yang sama sekali kosong, terhadap isu investasi yang sedang marak. Terlihat jelas, entitas masyarakat desa yang diwakili oleh kalimat “Setenang perahu Fansuri”.

Hamzah Fansuri adalah penyair sufi Melayu Klasik (Angkatan Pujangga Lama) yang sangat terkenal dengan syair-syair keagamaannya, semisal pada Syair Perahu-nya yang begitu teduh dan tenang.

Sesuatu yang hendak dipotret A. Muttaqin, sejauh pengamatan saya, mirip dengan kegundahan selepas “tragedi” Kedungombo. Saat rumah rebah, dan ladang menjadi danau.

Tak pelak memang, semua karya yang termuat dalam buku ‘Bhineka Tunggal Ika’ Harmoni in Diversity, ini adalah karya terpilih dan hebat. Apresiasi bagus wajarlah bila diberikan pada panitia UWRF dan tim kurator yang telah berpayah-payah menseleksi dan menempatkan kedudukan karya sesuai kualitasnya. Buku ini sendiri, sebagai sebuah bunga rampai, patut mendapat penghargaan.

Baik Kadek Purnami, Ni Wayan Juniartha, M. Aan Masyur, dan Syaifuddin Gani yang hadir malam itu “mengkuliahi” para sasrais Kendari perihal UWRF, patut mendapat pujian. Dengan lancar mereka mampu menjawab semua gugatan, telaah, diskursus yang berkembang dalam diskusi yang dipandu penyair Adhy Rical itu.

Namun, sayang sekali, keempat panelis itu tidak satupun yang menjawab kecemasan saya, yang pada sesi ketiga diamini semua peserta. Kecemasan saya soal ancaman terhadap perkembangan literasi nasional Indonesia, dihadapan panel Pasar Bebas. Panel Pasar Bebas, mau tidak mau, harus dilihat sebagai salah satu instrumen ancaman terhadap perkembangan literasi nasional. Dunia kepengarangan, termasuk sastrawan dan penulis pada umumnya, serta dunia perbukuan, akan diterjang oleh entitas literasi asing dalam mainstream selera pasar.

Gejalanya bukan tidak tampak. Lihat saja, ketika harian Kompas menurunkan laporan soal “Suram dan Lesunya Penerbitan Buku” (Senin, 31 Januari 2011). Laporan itu dengan rinci menyebut salah satu persoalan yang menghadang adalah langka dan mahalnya bahan baku, yang secara umum diambil dari kayu (wood-paper). Pembalakan resmi yang mengkatrol kuota kayu tebang labih dari 55% teralokasi ke ekspor, adalah pemicu utama kelangkaan. Lalu investasi asing di sektor furniture ikut menggerus bahan baku sebanyak 15% dan sisanya masih harus dibagi pada pengusaha pulp & paper nasional dan asing. Mahalnya bahan baku akan ikut mengkerek tingginya harga cetak buku, lalu berimbas pada tingginya nilai cetak oleh penerbit dan pengarang, serta berakhir pada tingginya harga buku yang harus dibayar oleh konsumen.

Serbuan literasi asing juga mencemaskan. Lusinan penerbit lebih suka membeli hak cetak sejumlah karya novel asing, kemudian diterjemahkan, ikut membanjiri pasar buku nasional. Jika tidak begitu, maka penetrasi penerbit asing dapat dilakukan dengan bagi modal kepemilikan (penyertaan modal), atau pure-investment publishing (non penyertaan modal).

Anak-anak kita sekarang cenderung mengikuti trend, dan lebih memilih membaca novel-novel; Saptaquel Harry Potter, atau Cronicles of Narnia, padahal ada The Cronicles of Willy Flarkies karya Satrio Wibowo. Bahkan orang muda lebih suka membaca novel-novel; The Doomsday Key 2012-nya James Rollins, You Suck (The Vampir Diaries) karya Christopher Moore, atau Escape Over The Himalayas karya Maria Blumencron, ketimbang membaca Giganto (Primata Purba Raksasa di Jantung Borneo) karya Koen Setyawan, atau Dwilogi Prabu Siliwangi-nya E. Rokajat Asura.

Perkembangan literasi asing lewat transliterasi akan ikut mempengaruhi perkembangan tema lokal, dan paling mencemaskan adalah perpindahan literasi lokal/kuno/langka secara sistematis lewat metode transliterasi bahasa Indonesia ke bahasa asing. Kejadian serupa yang menandai pengklaiman literasi kuno epos La Galigo, dan banyak literasi kuno Bali dan Jawa, serta bentuk bentuk literasi langka di daerah lainnya.

Sebagaimana imperialisme kuno yang masuk lewat jalur trading, perpindahan kekayaan literasi asli Indonesia dahulu sukar dicegah. Eropa terbukti menyimpan ratusan ribu manuskrip dan perkamen (bahkan lontara) sastra tradisional nusantara, baik dalam bentuk asli maupun hasil terjemahannya saja. Pola trading gaya baru (pasar bebas) akan membawa dampak yang tak jauh berbeda, dan makin memperkeras bentuk ancamannya.

Kendatipun demikian, saya sangat berharap kegiatan UWRF ini terus ada dan berkembang. Bagi saya, kegiatan lain seperti UWRF, ini pun jika bisa juga lahir, sehingga makin menegaskan bentuk kehendak kita pada kebangunan dan kecemerlangan kembali literasi Indonesia yang sempat pernah mendunia.

Selebihnya, acara Satellite Event Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), yang diselenggarakan Yayasan Mudra Swari Saraswati yang diwakili Kadek Purnami dan I Wayan Juniartha, difasilitasi oleh Teater Sendiri (Syaifuddin Gani), serta disponsori Hivos, berlangsung dengan sangat baik. Elegan dan tuntas.

Malam kian larut saat acara itu pungkas, tepat pukul 24.00 waktu Indonesia bagian Timur. Kadek Purnami dan I Wayan Juniartha masih akan ke Ternate besok paginya untuk promo UWRF yang sama. “Sampai bertemu di Ubud,” seru keduanya berpamitan, sebelum masuk ke dalam mobil menuju hotel.

Mari menegakkan kembali kebangunan tradisi literasi Indonesia asli. Sekian.

Kendari, 11 Februari 2011

[]

Penyair Irianto Ibrahim, membacakan 'Perahu Kanak-Kanak' yang dicuplik dari bukunya "Buton, Ibu dan Sekantong Luka".
M. Aan Mansyur, salah satu kurator UWRF, juga membacakan salah satu sajak pada sesi pembukaan.
Sulprina Rahmin Putri, juga tak ketinggalan menghibur undangan dalam pembacaan puisi.
Frans Patadungan, membaca puisi pada pembukaan.
Sastrawan Syaifuddin Gani, ikut mempersembahkan sebuah puisi di pembukaan.
Panelis: Syaifuddin Gani, M. Aan Mansyur, Kadek Purnami, I Wayan Juniartha. Adhy Rical (Moderator)
Undangan menyimak Frans Patadungan membaca puisi pada pembukaan acara.
Arham Kendari (Karikaturis & Penulis Buku), Laode Djagur Bolu (Budayawan & Seniman), Sidin Lahoga (Sastrais), Irfan Ido (Sastrais). Cermat menyimak diskusi.
Ahid Hidayat (Dosen & Sastrawan), Sendri Yekti, dan undangan diskusi lainnya.
Para undangan (mahasiswa dan penggiat sastra) mengikuti diskusi dengan antusias

Ilham Q. Moehiddin, mojok bersama sastrais Iwan A'rab di meja bernomor 12.
Syaifuddin Gani, Kadek Purnami, I Wayan Juniartha, Adhy Rical, dan M. Aan Mansyur. Berpose bersama seusai acara.