Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Kembali Terkenang Para Kekasih (2)

Rindu tergaru musim baharu luka yatimpiatu
Kenangan tersaruk-saruk di hutan-hutan Anduonohu
Bukit marun angin harum
kota kabur nasib kardus
Menggiurkan kata-kata mengharukan segenap mata

Di pantai Abeli, sayup-sayup pedih dari sepasang kedasih
Di lembah janji, letupan api membakar segenap sumpah

Kembali terkenang para kekasih
Oh bunda yang jauh oh winda yang berlabuh
Oh negeri tempurung oh nasib tengkorak oh lambung terkurung
Waktu adalah surga
Janji semata lidah api
Jarak ialah sajak

Di bawah telapak sunyi marcapada oh baradurjana tungkunusantara
Aku digonggong musim kerinduan dirongrong muslihat lidahjanji
Yang berkepanjangan

Kendari,24 Juli 2010

Minggu, 01 Agustus 2010

Nyanyian Pelepas Rantau Anak Butuni



(Saya sangat berbahagia karena mendapat kiriman nyanyian ini dari sahabat saya La Ode Yusri. Nyanyian ini, ditembangkan sang ibu tercinta, kala melepas anaknya pergi merantau, mereguk ilmu pengetahuan ke negeri orang. Ini adalah tradisi yang masih berlangsung, khususnya di Gu, Lakudo. Agustus ini, La Ode Yusri akan berangkat ke Yogyakarta, menuntut ilmu di sana. Nah, inilah nyanyian dari sang bunda, yang mengantar ananda tercinta). Mengandung filsafat kebutonan, sejarah Buton, perang dengan Kerajaan Gowa, dan juga soal kejatidirian sebagai la ode).

Oleh: La Ode Yusri

Ngkolee..
Kini waktumu tiba
Tanah Jawa memanggilmu datang

Kalau pergi, pergilah
Tapi ingatlah kau pada ini tanah
Tanah tempat kali pertama
Darah kau mengalir basah
Tanah tempat kali pertama
Kau hirupi udaranya
Tanah tempat kali pertama
Kau lolongi ia dengan tangismu
Tanah tempat arimu
Ditanamkan
Gu Lakudo-mu
Serambinya Butuuni
Selirnya munajat
Ingat-ingatlah kau Nak..
Sebagaimana Murhum
Rindu pada tanah ini
Lalu mengambilnya masuk
Dalam rengkuh kuasanya
Sebagaimana Wolio
Agung meninggikan tanah ini
Tak ada lakina dari tanah ini
Yang sembah turunkan topi
Setiap kali maju menghadap sultan
Sebagaimana telah diadatkan
Diwajibkan pada lakina tanah lain
Sebagai balas atas budi
Karena tangan dari tanah ini
Umbunowulu ditekuk takluk
Negeri bangkang menantang
Kuat merongrong kesultanan
Melawan tak patuh titah Sultaan
Bahkan kapal-kapal utusan kerajaan
Tak pernah sampai menjangkau tanah negeri itu
Terkenal sakti dan bertuah mantera negeri itu
Dari puncak gunung Sabampolulu
Mereka melayangkan berpuluh batang kelapa
Pada kapal-kapal penakluk kiriman kerajaan
yang masuk teluk lasongko ataupun selat Baruta
menujui tanah mereka
Atas kendali mantera tuah teluh negeri itu
Batang-batang kaku mati itu
Meluncur gesit menderu
seperti mengandung membawa nyawa
Menghantam tepat di lambung kapal
Menghujam keras merusak palka
Menyobek serak kain layar kapal
Tenggelam karam sebelum mencapai tanah negeri itu

Itulah kemudian kesultanan murka
Susun siasat penaklukan
Memakai tangan tanah ini
Memakai tangan tanah ini anakku!

Maka kau jangan rendah diri
Tak usah pula tinggi hati
Darah kau itu
Darah kaomu
Darah la ode
Yang mengalir turun
Dari Lakilaponto
Raja kelima tanah Wolio
Sultan pertama Tanah Butuuni
Muhammad Yisa Kaimuddin gelarnya
Timbang-Timbangan panggilannya
Murhum dipanggil setelah wafatnya
Yang dengan tangannya
Membunuh Labolontio
Bajak tangguh Tobelo
Sakti kuat perkasa
Membawa kebal pada tubuhnya
Parang tombak dan panah
Tak mempan lukai kulitnya
Segan dekat pada daging tulangnya
Lantak jatuh membanting diri ke tanah
Sebelum sampai mengenai tubuhnya
Itulah ia sombong serakah
Merasa diri kuat tak terkalah
Ia bangun aliansi bajak rompak
Dan memimpin sendiri armadanya
Menggasak lautan
Melindas tanah pesisir kerajaan
Menyimpan Luwuk dan Wawonii
Konawe dan Laiwui
Dalam genggam kuasanya

Mimpi menggoda mengais benaknya
Buton di mata ditujunya
Berangan ia akan indah jadinya
Kalau Buton takluk dalam kuasanya pula
Maka diaturlah siasat penaklukan
Barata-barata dahulu
Harus dilumat habis semua
Sebelum mengulum genggam Wolio
Matana-matana sorumba dahulu
Harus digulung serata datar tanah
Dibuat merangkak rangkak kalah
Sebelum menekuk surukkan Wolio

Abdi intai kerajaan
Tergopoh datang merangkak
Menghambur diri dalam sembah
Di muka kaki Mulae yang mulia
Sampaikan kabar Labolontio
Yang telah dekat di depan mata
Telah di muka laut Kulisusu

Tersiar cepat kabar itu
Menggundahkan Raja Mulae
Menggelisahkan hati Sangia Yi Gola ini
Beliau tahu diri
Tak setanding kuat Labolontio
telah tua ia
Dimakan usia umurnya
Diambil waktu tenaga kekuatannya
Tak mungkin kuat menandingi Labolontio
Yang muda bugar kuat perkasa
Raja rompak lautan
Raja bajak lautan

Maka dibuatlah sayembara
Disiarsebarkan pada khalayak semua
Siapa-siapa saja
Dapat membunuh Labolontio
Membawakan kelelakiannya
Di muka hadapan raja
Sebagai bukti terbunuhnya
Akan diambil sebagai menantu raja
Menikahi putri ayu jelita kerajaan
Anak satu-satunya
Yang keluar lahir dari rahim permaisuri
Putri Borokomalanga namanya

Datanglah kemudian Lakilaponto
Putra yang Mulia Sugimanuru
Raja penguasa Tanah Muna
Ikut bersamanya Opu Manjawari
Raja penguasa Selayar
Juga Betoambari
Bersekutu mereka tekuk Labolontio
Di pantai laut Boneatiro

Awalnya Betoambari maju
Beradu tangkas gerak silat
Tapi ia kalah gesit
Dipukul jatuh si bajak rompak itu

Manjawari pun maju
Dalam gerak silat memukau
Tapi si bajak mata satu itu
Tak gentar surut nyali
Ia sigap dalam siaga
Menunggu tiba gerak maju Manjawari
Menyambutnya
Merangsek ia maju
Bergulat mereka dalam gelut
Beradu kebal kanuragan
Saling tikam menusuk
Tak ada kalah mempan
Kulit mereka keras menembaga
Tak tertembusi pisau besi
Tak terlukai parang besi
Tapi kemudian Manjawari tersuruk kalah
Disepak jatuh Labolontio

Majulah kemudian Lakilaponto
Dalam gerak silat yang kacau
Melangkah kempang pura-pura
Membahakkan ketawa Labolontio
Pulanglah kau kembali
Sebelum kulumat serupa dua kawanmu itu
Mereka yang kuat sempurna saja
Kutekuk takluk tak berkutik
Apalagi kau yang cacat melangkah kempang
Mengatur dirimu melangkah saja
Kau tak kuat susah sekali
Bagaimana bisa kalahkan saya?
Bagaimana berani melawan saya?

Lakilaponto terus merangsek maju
Mengikut komando raja Mulae
Tak hirau pada bahakan Labolontio
Ia maju mendekat tepat di muka Labolontio
Labolontio menarik langkah siaga
Keduanya kemudian bergelut adu kuat
Bergulat adu otot
Saling ganti menusuk tikam
Pada kulit mereka yang menembaga
Tak ada mempan
Tak ada kalah
Pisau parang dari besi itu luluh
Lantak jatuh membanting diri ke tanah

Keduanya mengambil langkah mundur
Mengatur jarak siasat
Segenggam pasir tanah laut
Dalam kepal Lakilaponto
Disembur tepat di muka Labolontio
Penuh mengenai mata satu-satunya
Labolontio linglung dalam panik
Tak dapat ia melihat
Hanya gelap saja
Gerak silatnya kacau
Ia meraung serupa kerbau kena
Memukul kenai angin saja
Hilang tuah mantera kebalnya
Dalam gerak cepat serupa kilat
Lakilaponto gesit menarik keris
pada pinggangnya
keluar dari sarungnya
ia hunus keris itu
ditusukkan pada dada
tepat di jantung Labolontio
keris bawaan dari lahir itu
ampuh bertuah juga rupanya
kebal Labolontio ia tembusi
memuntahkan habis keluar darahnya
dan mati.

Darah kau itu
darah kaomu
darah la ode
yang mengalir turun
dari Lakarambau
Sultan Buton bijak bersatu
menantang bak karang batu
keras kuat kokoh menyatu
tak gentar melawan lawan
maju merangsek penuh heroik
mengusir pulang Belanda
ke barak-barak kumuh sembunyian mereka
mengobar jihad agama sahih
pada setiap gerak majunya
biarlah diri hancur melebur tanah
asal negeri selamat aman sentausa
negeri selamat aman sentausa
jikalau ada sara mengaturnya
mengatur itulah agama pedomannya

darah kau itu
darah kaomu
darah la ode
yang mengalir turun dari Langkaririy
Sultan Buton raja Kamaru
Sakiyuddin Duurul Alam gelarnya
Bangsawan Kumbewaha
Yang memutus tak boleh
Lelaki Walaka kawin menikah
Dengan perempuan Kaomu
beranakkan ia Balu i Gu
puteri cantik nan jelita
bersuami Kapitalao Lakudo
berdiri ia tegak berani
di muka sidang Siolimbona
Menolak tegas bangsawan barata
Disamasetarakan bangsawan Kamboru mboru
Bangsawan kolaki tak ia bolehkan
Memimpin negeri

Darah kau itu
Darah kaomu
Darah la ode

Tahukah kau?
Ketika dua puluh ribu pasukan Gowa
Kiriman Hasanuddin datang menyerang ini tanah?
Sebagai murka atas ulah Buton melindungi Arupalakka
Dua puluh ribu pasukan Gowa
Di bawah komando Karaeng Bontomarrannu
Berarak maju dalam derak serak
Pinisi-pinisi penuh prajurit lengkap tameng artileri
Maju berarak dalam parade teratur
memerahkan laut teluk Buton
hendak menggasak lindas ini tanah
Kitalah di barisan paling depan
Sebagai Matana Sorumba
Pasukan inti paling depan
Pelindung jaga kesultanan
Maju gagah berani menghalau lawan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Berjuang menumpah darah untuk mulia agungnya Sri Sultan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Yang berdiri mengawal lindungi Keraton
Agar tak masuk ditembusi lawan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Penakluk musuh-musuh kesultanan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Menggiring lima ribu pasukan Gowa
Sebagai tawanan ke Liwuto
Kitalah yang Mia Sambali ini
Yang menyiutkan nyali Bontomarrannu
Kesatria Gowa yang tak pernah merasai kalah
Takluk tunduk, pulang membawa malu
Sebagai pecundang kalah
Di muka teluk Bau Bau

Ngkolee..
La ode itu taklah perlu tampil tunjukkan diri
Itulah tak kau dapati
Di tanah ini,
Tak ada seorang pun sematkan itu pada namanya
Karena hakikatnya telah ode-lah semuanya
Sebagaimana yang mulia
Tak patut memanggil yang mulia
Pada yang mulia lainnya,
pada sesama kaomu walaka
tak berlaku gelar pangkat itu
ia luluh bersama kesesamaan itu

Laode itu
hakikatnya adalah laku diri
tanggunganya berat sekali
sebab,
bagimana orang lain kau suruhi
kau ingini baik berlaku
kalau kau sendiri tak baik berlaku?
Berlaku baik pada diri sendiri dulu
Bahkan nanti tanpa kau suruhi
Orang-orang akan berbaris datang mengikutimu.

Laode itu
Adalah adab tahu diri
Tidak lupa diri
Seorang ode harus tahu diri
Harus mengenali batas kediriannya
Tahu makna keodeannya
Karena hanya dengan itu saja
Jalan mengenali-Nya
Tak berhak dipanggil la ode
Pada seorang yang buruk perangainya
Pada mereka yang berlaku amoral asusila
Pada mereka yang sombong serakah
Mengambil yang bukan haknya
Meskipun garis turunannya adalah bangsawan
Tak patut ia menyandang gelar mulia itu

Seorang ode,
Harus bisa menjaga terus lurus perangainya
Harus bisa menjaga lisan terus sejalan dengan lakunya
Harus bisa menjaga diri menguasai hawa nafsunya

Sudah ode,
Tidak berarti semakin menghabiskan makanan orang lain
Tidak berarti sesuka maunya mengambil hak orang lain
Tidak berarti semau enaknya menyuruh perintah orang lain

Seorang ode,
Harus semakin mengenal batas
Harus semakin mengenal kewajiban tanggung jawabnya

Pergilah, pergi
Kau telah dewasa
Telah bisa kuasa
Mengurus sendiri diri
Mengatur hidup sendiri

Pergilah, pergi
Kejar dan raih citamu
Pulanglah nanti
Banggakan ibu

Pergilah, pergi
Doa kami penuh beserta kau
Baring telungkupkan badan kau
Di muka pintu serambi sana
Biar kulangkahi kau
Agar nanti tak ada berani
Kau diganggu
Agar nanti
Kau kuat bernyali
Agar nanti
Kau selalu berani
Agar nanti
kau diberkati
Dilindungi Maha Pelindung
Sampai nanti kembali pulang

Pergilah pergi anakku
Jangan bersedih
Kau lelaki, mesti kuat
Kalau telah keluar tinggalkan rumah
Pantang langkah kembali mundur
Pantang muka balik menoleh
Seperti sope Wasilomata
Moncong haluannya
Kukuh menantang angkuh samudera
Setinggi gunung pun gelumbang
Tak surut ia membalik diri
Melaju kuat ia tembusi
Sehingga tampak pulau dituju
Sehingga tiba di pulau tuju

Pergilah, pergi anakku
Melangkahlah kuat
Tanggalkan takut
Jangan pengecut
Kokoh nyali tak lecut

Biarlah ibumu di sini
Berdiri tabah
dalam tegak,
melihat khusuk
Punggung kau
Sampai jarak mengambilmu
Dari pandanganku
Atau bulir air mata
Yang menderas haru
Menghapusmu dari mata aku

Pergilah, pergi
Perpisahan memang selalu begitu
Menyimpan sedih anakku
Menggandeng duka pada datangnya
Entah itu pergi sementara
Atau pergi selamanya
Tapi bukankah untuk bertemu harus berpisah dahulu?
Bagaimana ada bertemu kalau tidak berpisahan dahulu?
Bukankah berpisah itu yang menyemai-nyemai
Memanggil-manggil datang sehingga ada bertemu?
Pisah inilah yang membiakkan rindu anakku
menjadikan berjarak
dan pada berjarak inilah rindu membentang
sejauh membentang jarak
sebesar itulah pula rindu anakku

Ngkolee..
benar bukan soal pergi itu
Pun tak soal pisah itu
Telah menjadi memang ketetapan-Nya
Bahwa yang datang pada akhirnya pergi
Pulang ke tempat kali pertama ia datang
Sebagaimana purnama selalu datang
Tepat di empat belas malam
Dan kau telah memilih datang
Maka juga harus bersiap pergi
Awal pergi kau di sini
Pulanglah kelak juga di sini
Sebagaimana awal adanya
Itulah pula akhir jadinya

Berkat tanah Butuuni
Berkah tanah munajatmu
Dan doa ibu di sini
Menjaga limpahi kau

Amien....

Gu, Lakudo, Agustus 2010



Catatan;
1. Langkolee/Ngkolee = Panggilan sayang pada anak kecil lelaki di Gu, Lakudo, Buton
2. Lakina = kepala kampung/wilayah/distrik
3. Kaomu = golongan bangsawan paling tinggi di Kesultanan Buton yang berhak atas jabatan Sultan
4. Walaka = golongan bangsawan lapis kedua setelah kaomu, berhak atas jabatan dewan Kesultanan
5. Siolimbona = Dewan Kesultanan yang mengusulkan dan memilih Sultan
6. Sara = aparat Kesultanan
7. Kamboru-mboru = Istilah yang merujuk ke kaomu
8. Kumbewa = salah satu klan kaomu, kaomu ada tiga (Tanailandu, Kumbewaha, dan Tapi-tapi) ketiga klan kaomu inilah yang bergantian menggilir jabatan Sultan
9. Sope = perahu, kapal
10. laode = gelar bangsawan di Buton dan Muna
11. Mia Sambali = Orang luar, merujuk pada klan, kaum, kelompok yang berdiam tinggal di luar   benteng Keraton Buton.
12. Wasilomata = nama desa/ kampung yang terkenal bertuah mantera melaut mereka
13. Matana Sorumba = Ujung tombak. pasukan paling depan penghalau musuh kesultanan
14. Liwuto = sekarang Pulau Makassar. pulau kecil tempat 5000 pasukan Gowa ditawan
15. Barata = kerajaan di bawah otoritas Kesultanan Buton, menjadi penopang Kesultanan.