Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Senin, 22 November 2010

Angin Merah


Surono

tiga tangisan tiga letusan meleleh di wajahmu
dari lereng merapi merayap ke lembah-lembah mati
cairan api meranggaskan tanah merampungkan nyawa
air matamu longsoran mata air lava

di balik dinding vulkanologi, matamu menangkap rahasia warna tembaga
menangisi keindahan awan panas, katamu
alam menandaskan keraguan menjadi abu
dan langit membukakan pintu alamat mati
sebagian menjauh memberi jalan bagi perjalanan lava
sebagian yang lain dikafani abu
dalam dinginnya maut

katamu, kita telah mereguk ribuan butir air
menghirup keikhlasan udara
memanen kesegaran pohon-pohon
maka berilah jalan bagi penyucian ini
jika tak, kita dikutuk jadi abu batu
jadi patung lava

tiga tangisan tiga letusan meleleh di wajahmu
di matamu berkelebat angin merah, berkibar di langit yogyakarta.
tak ada juru kunci
bagi segala penjuru pintu
karena kunci itu, katamu
ada di jantung masing-masing
manusia

Kendari,  14—20 November 2010

Kamis, 11 November 2010

Di Balik Jendela Abu Aku Melihat Ida Memetik Gurindam Air Mata



1
Sepi yang riuh mengerumuni dinding-dinding kerajaan Riau
Memadat lalu merapuh jadi reruntuhan Gurindam

2
Bakau yang hijau menghidupi Raja yang tak baqa
Mendoakan pantun dan penyair semoga dianugerahi kataabadi

3
Di balik jendela abu aku melihat Ida memetik gurindam air mata
Air matanya menjelma tumpuk kemurungan batu-batu

4
Dengan jemari gemetar dan jantung yang gentar
Raudal mengabadikannya dengan sabetan cahaya fana

5
Oh Raja Ali Haji, bulu-bulu tubuhku mengeras jadi anak panah
Memberondong matapantun matajantung mataampunku

6
Sepi yang riuh membopongku ke Pulau Penyengat
Disalami angin laut angin maut, disongsong aduhan rebana, kembaraku tersengat

7
Oh di Makam Raja Ali Haji, aku menyaksikan Henry didoakan air matanya
Binhad menggeleparkan sajak-sajaknya dan Koto membasuh matapenanya

8
Di hadapan makam Raja Ali Haji, Jamal memimpin para penyair
merambati batu nisan dengan doa-doa seribu gurindam.

9
Gurindam dua belas, mataair tertuang dalam seribu gelas
Gurindam dua belas, Hasan dan Irianto mereguk satudua tenggak

10
Gurindam dua belas, Thendra dan Dea kau rebut berapa pasal
Gurindam dua belas, Bode dan Yopi pasal apa yang kau teguk

11
Gurindam dua belas, Adin dan Hudan adakah kau tangisi beberapa amsal
Gurindam dua belas, Iman dan Langgeng dengan dua belas pasal, ia patut jadi misal

12
Gurindam dua belas, Faisal dan Sukma adakah terebus engkau punya sukma
Gurindam dua belas, Mahwi dan Gani jika engkau tetap kesasar
Pulang dengan tangan tak membawa satu pun pasal
Engkau dikutuk jadi mayat batu jadi laut batu.

Tanjungpinang—Kendari, 31 Oktober—02 November 2010

Rabu, 20 Oktober 2010

LIMA SAJAKKU DI PIKIRAN RAKYAT BANDUNG, MINGGU, 17 OKTOBER 2010

Pare-pare

pagi letuskan bau buruh
menyembur ke udara subuh
ton demi ton badan dan barang
menumpuk dan mengerang
menghardik dan mengganyang leher dermaga
penumpang dan pencoleng
beradu rayu
sebelum lengking sirine
memanggil

pagi itu
dermaga dan laut jadi bongkahan rindu
air mata dan sepi pun jadi bangkai perjalanan


Pare-pare, 14 Maret 2009



Dua Ribu Tangga Ombak

dua ribu tangga ombak memecah kegulitaan sunyi
merapikan pakaian kemurungan pesisir
enam pasang cahaya merinding di laut
mengirim musim barat ke bukit-bukit gorontalo

sunyi yang legam
menggelepar dibantai dua ribu gelombang
gulungan malam mengobarkan kepedihan
sebelum menjadi buih

memuih jadi maut putih
menjelma dua ribu gelombang kesunyian
teluk tomini

Gorontalo, 18 Juni 2010



Langit Lalu Rebah ke dalam Matadahaganya


sebongkah batubara menggelincir ke dalam rongga dahagadadanya
lalu tersungkur ke dalam dagingjantungnya

ia mengerang, oh langitkembara alangkah maharindu pesonamu
oh lautkembar betapa mahabuih gelegarmu
membongkardobrak pintufana darahku
oh bumikandung tak jua rampung dengan seribusembilu kidung

langit lalu rebah ke dalam matadahaganya
laut lalu menggelegak ke dalam rahimpuasanya

dan batubara itu pecahrekah jadi abu jadi api puisinya

Kendari, 5 Juli 2010



Di Padang Konda
:Wan

di padang-padang konda langit dikerumuni senja
bukit-bukit merenung dirayapi angin tundra
tujuh anoa membahana memburu cahaya magrib
anaway menuruni lembah nasib dan matahari pun raib

Konda, maret 2010



Wangi-wangi

di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan

ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan

pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam

kutinggalkan dermaga Wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan

Wangi-wangi, April 2008

KLIK: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=160311%EF%BB%BF

Minggu, 10 Oktober 2010

SAJAK PERJAMUAN MAGRIB DAN VIDEONYA


Perjamuan Magrib
1
istriku. azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku
kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih
merah di luar kamar bercengkerama di keningmu
matamu terbuka seumpama fajar terluka
bilal mengundang ke perjamuan magrib
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman

suamiku.bangunlah dari bebatan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut
temaram isya segera datang, satusatu bintang bertandang
di luar, jamaah melenggang ke taman sembahyang
sebelum iqamah datang sebelum kiamat jelang

2
sepasang suami istri
membuka kamar membuka pagar
lalu terbakar
kakikakinya lariklarik puisi
hikmat dan nikmat ke terowongan magrib
jamaah bersorban berkerudung langit
mengerubung kiblat, lalu imam berkidung
oi, alangkah mawar allahu akbar
penawar jiwajiwa memar
rubuh dan rukuk dalam geluruh sembahyang


Pembaca Puisi: Syaifuddin Gani
Gitaris: Arif Relano Oba
Diakses dari: http://www.youtube.com/watch?v=NUdwimfkPf4

Senin, 04 Oktober 2010

SAYA SUDAH TENANG KARENA ANAK-ANAKKU TELAH SALAT SEMUA


Kisah Kedua Puluh Sembilan





Judul di atas adalah pernyataan Ayah saya lebih lima belas tahun silam. Hal itu dikatakannnya di kampung, ketika kami, anak-anaknya, akan kembali lagi ke kota rantauan. Salat adalah kewajiban mutlak yang selalu diingatkan Ayah kepada kami anak-anaknya. Ayah merasa berdosa dan gagal jika salat saja tidak ditegakkan oleh kami.

Pesan Ayah itulah yang sampai kini terus kuingat, sehingga ketika akan meninggalkan salat atau pernah meninggalkan salat, saya langsung mengingat yang namanya dosa. Saya langsung merasa telah menciptakan dosa buat Ayah. Bukankah Ayah telah merasa tunai sudah kewajibannya kepada Allah di dalam memerintahkan anak-anaknya untuk selalu mendirikan salat?

Mungkin sekitar tahun 1989 ketika kakak perempuan saya satu-satunya, dirundung rasa takut. Umurnya saat itu sekitar 13 tahun. Ia mengadu kepada teman-teman perempuannya bahwa semalam ia lupa salat Isa, karena tertidur. Ia takut berdosa besar dan masuk neraka. Mendengar kakak saya lupa salat Isa, saya yang terpaut dua tahun darinya, merasakan kesedihan. Seberapa besar dosa orang yang lupa Salat? Apakah dosa orang lupa salat dan yang sengaja tidak salat, sama besarnya?

Demikianlah, sehingga kami ke delapan anak-anaknya tumbuh besar dalam tradisi ibadah salat. Jangan lupa agar anak-anak kalian kelak, juga mendirikan salat, sambungnya. Saya sudah memiliki seorang anak yang ketika kutulis kisah ini, berusia 1,7 tahun. Namanya Muhammad Faiz Raihan. Pada saat saya dan ibunya salat, harus disiapkan juga sajadah cadangan di samping, tempat ia salat sesukanya. Tentunya, rukun salatnya tidak sempurna. Ia hanya bilang, baaaaaaa… baaang. Ia memang baru belajar bicara. Mungkin maksudnya adalah Allahu Akbar, sebagaimana yang biasa ia dengar dari saya, Ayahnya.

Hal lain yang paling diingatkan oleh Ayah adalah agar rajin mengaji atau membaca Al Quran. Ayah termasuk keras soal yang ini. Ketika masih SD, saya dan juga ke tujuh kakak saya, sudah harus mengaji, dan telah lancar. Tidak segan-segan Ayah menggertak dan mencubit paha sampai memar jika ada salah ucap dan salah berulang-ulang dari kami.

Kakak ke empat saya, Nazaruddin Gani, pernah menghalami peristiwa masa-masa mengaji yang berkesan. Pada waktu itu, ia selalu tidak ada di rumah dan perkiraan Ayah ia berada di masjid untuk belajar mengji bersama yang lain. Suatu waktu, seusai makan malam, Ayah menengok orang-orang mengaji di masjid. Ia tidak melihat Nazaruddin di lingkaran pengajian. Mana Sukding, tanyanya. Sudah lama ia tidak mengaji, jawab peserta pengajian serempak. Saat itu, Ayahlah yang paling ditakuti di antara guru-guru mengaji yang lain.

Ayah lalu ke rumah dengan muka yang merah mencari Sukding, begitu panggilan akrabnya. Oh Sukding, umba muengei (di mana kau). Tidak ada jawaban. Di cari ke dapur, kolong ranjang, dan lemari pakaian tapi tidak ada. Dicari di bawah kasur pun tidak ada. Ayah marah. Ia lalu kembali ke pintu dan tiba-tiba berhenti. Dibukanya daun pintu dan di sana ia melihat Sukding duduk merangkul kedua lulutnya gemetaran karena ketakutan.

Dapatlah dibayangkan kemarahan Ayah. Ia lalu memegang Sukding, mencubit pahanya, dan disuruhnya ke mesjid. Apakah kamu mau masuk neraka jahanam, bentak Ayah. Kakak kami segera mengambil kopiah dan sarung, lalu lari ke mesjid. Kemarahan Ayah tentulah beralasan karena ia adalah imam Masjid Nurul Hidayah, tokoh masyarakat, dan Kepala Madrasah Tsanawiah Negeri Mambi.

Alhamdulillah, sekarang kakak kami itu kini adalah yang paling “banyak” bacaan dan pemahaman agamanya. Ia seorang qari  yang mantap. Jika azan, suaranya sangat indah. Sekarang ia sering jadi imam, khatib, sekaligus bilal di Masjid Nurul Iman, di kampung Loka, 5 kilometer dari Salubulung.

Sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar tahun 1987-an sampai sekarang, Ayah selalu dirundung berbagai penyakit. Mungkin sekitar tahun 1989, Ayah sakit keras. Dokter Puskesmas telah memberinya berbagai obat, tapi tak kunjung sembuh. Ibu malah telah memotong ayam kesayangannya untuk gizi Ayah, tapi penyakitnya tak kunjung reda. Ingatan yang tak kunjung kulupakan adalah ketika dilaksanakan salat idul Fitri tahun itu. Ayah diangkat ke masjid karena tidak dapat berjalan. Seluruh jemaah merasakan kesedihan yang dalam.

Jarak antara Salubulung kampungku dengan Polewali, ibukota Kabupaten Polewali Mamasa waktu itu, sekitar 200 kilometer. Kurang lebih 40 kilometer dari kampungku ke Malabo, jalan rusak berat. Mobil tidak bisa melewati jalan yang berlumpur. Akhirnya atas inisiatif keluarga dan warga dari berbagai kampung, Ayah dipikul di dalam sebuah tandu yang disebut lemba’ang, dari Salubulung ke Malabo. Sekitar jam delapan pagi, kami meninggalkan kampung.

Ayah pernah jadi imam dalam waktu yang panjang di Masjid Nurul Hidayah Salubulung. Beliau juga dianggap sebagai salah satu tokoh masyarakat di bidang keagamaan. Saya sering menemaninya berjalan kaki ke berbagai kampung untuk berceramah. Mulai dari jarak 2 kilometer sampai 10 kilometer. Ayah sering menyelesaikan konflik antar pemuda sampai konflik rumah tangga. Mulai pernikahan sampai perceraian. Mulai kelahiran (aqiqah) sampai kematian. Saya belum sekolah saat itu, ketika dua orang pasang remaja datang di rumah sebagai pasangan to silumpaang.Mereka sebetulnya dua pasangan, tetapi pasangan yang satu adalah topampasolai atau “yang menemani” pasangan tersebut. Dalam bahasa Indonesianya, silumpaang atau silariang artinya kawin lari.

Peristiwa yang tak kunjung saya lupakan adalah kericuhan yang hampir berbuntut perkelahian fisik, ketika merundingkan dua keluarga besar yang kedua anak-anak mereka silumpaang atau silariang.

Ketika kedua keluarganya datang mencari dan akhirnya dimusyawarakan pada beberapa malam setelahnya di rumah, keadaan tegang karena ketidakcocokan kedua pihak. Tiba-tiba salah seorang dari keluarga perempuan meloncat dari lingkaran musyawarah keluar pintu sambil bicara “lekbaak jolok mangngala pisoku” saya pergi dulu ambil parang. Sontak semua peserta berdiri dan mengambil sikap layaknya orang mau pencak silat. Rumah panggung kami ibarat tempat menumbuk padi yang dilakukan puluhan orang, karena bunyi kaki peserta musyawarah. Baik yang mau berkelahi maupun yang melerainya.

Saat itu karena masih kecil, saya lari dari rumah, menyusuri lorong-lorong kampung sambil menangis. Ibu datang mencari sambil menyebut-nyebut namaku lalu memegang tangan saya pergi menjauh. Oh Ibu, semoga kini engkau tengah menikmati kenikmatan alam Surga yang disediakan Tuhan.

Pernah lagi, saya pulang kampung sekitar tahun 1996. Saat itu, saya sekolah di SMA Negeri 1 Polewali. Malam harinya ketika sampai di rumah, datanglah sekitar 10 orang lelaki yang berbadan besar-besar. Saya kenal akrab mereka, karena masih ada hubungan keluarga. Dua di antaranya bermuka benjol-benjol seperti habis kena lemparan batu bertubi-tubi. Ternyata keduanya dibawa oleh keluarga masing-masing ke rumah untuk didamaikan oleh Ayah karena baru saja berkelahi di lokasi perkebunan cokelat. Setelah dirukunkan kembali, mereka pulang ke kampung dan bekerja seperti biasa dengan hati tenang.

Satu hal lagi yang lekat di ingatanku, tentang idealisme Ayah. Saat itu ‘kan masih jaya-jayanya Orde Baru. Setiap tiba masa pemilihan umum, yang menang pasti Golkar. Urutan kedua dan ketiga, PPP (P3) atau PDI. Saat itu, mungkin sekitar tahun 1996, Ayah menjadi pengurus pemungutan suara di kampung. Ketika para pengurus pemungutan suara atau pengurus pemilu akan disumpah, Ayah memilih tidak mau disumpah. Katanya, sangat berat akibatnya jika kita tidak jujur. Apalagi saat itu, penuh dengan kecurangan dan ketidakjujuran. Saya sendiri ikut memilih saat itu, dan melihat secara langsung, kartu suara yang tidak memilih salah satu gambar partai yang berkuasa, maka langsung dinyatakan sebagai kartu rusak atau tidak sah. Di kemudian hari ketika menjadi mahasiswa, saya akhirnya tahu bahwa praktik-praktik culas itulah yang selalu mewarnai pemilihan umum dan dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Ya, rumah kami tepat berada di tengah kampung, berdampingan masjid Nurul Hidayah. Sekitar empat jam rombongan pemikul Ayah dan kami sekeluarga meninggalkan kampung, banyak ayam yang tiba-tiba menggelepar lalu mati, sejak dari rumah sampai meninggalkan kampung. Menurut “orang pintar” Ayah kena guna-guna. Jika ditarik garis lurus, dari rumah kami di depan jalan sampai bagian belakang, ayam-ayam yang sebelah rumah kami ke sana, sehat-sehat saja.

Cerita kematian banyak ayam yang dimulai dengan menggelepar-gelepar, lahir dari Daeng Lasigi. Dia adalah orang yang mengawal kuda pembawa makanan dan minuman para pemikul ayah. Sekitar empat jam kami berjalan kaki dan menunggu Daeng tiba, ia tak kunjung juga datang. Kami rombongan pendamping dan pemikul Ayah merasakan rasa haus dan lapar. Tak lama kemudian, Daeng datang bersama kudanya yang menggandeng makanan. Ia lalu bercerita kenapa sampai terlambat.

Begini ceritanya. Beberapa menit kekita ia meninggalkan kampung, tiba-tiba orang-orang berteriak bingung karena ayam-ayamnya pada menggelepar. Mendengar teriakan itu, Daeng balik ke kampung dan ikut jadi saksi fenomena langka itu. Ia melihat langsung ayam-ayam yang mulai dari rumah sampai ujung kampung, menggelepar lalu mati. Orang-orang berinisiatif untuk menyembelih yang masih hidup. Karena laki-laki dewasa di kampung sebagia besar ikut memikul Ayah, maka Daeng-lah yang bertugas menyembelih ayam yang jumlahnya puluhan itu. Mendengar cerita demikian, kami menjadi kaget dan mengucapkan astagfirullahal azim. Kepada Allah kami serahkan semuanya.

Umur Ayah sekitar 65 tahun ketika ia tidak sanggup lagi bekerja secara fisik. Jika ia ke ladang memetik cokelat, ke sawah mencangkul, atau ke hutan memotong kayu, malam harinya akan langsung sakit. Ibu yang beda sekitar 15 tahun dengan Ayah (Ibu lebih muda) banyak mengambil pekerjaan. Ibulah yang mengurus sawah, menanam beraneka sayur dan membersihkan rumputnya, juga memasak di dapur. Ibu jarang sakit sedangkan Ayah hampir tiap bulan pernah diserang penyakit.

Ayah seorang pensiunan kepala sekolah Madrasah Tsanawiah Negeri Mambi, empat kilometer dari Salubulung. Ia jalan kaki pulang pergi dari kampung ke Mambi untuk menjalankan tugasnya. Ibu tamatan SR (Sekolah Rakyat) saja. Makanya Ibu tidak punya pekerjaan alias jadi ibu rumah tangga yang baik. Gaji sebagai PNS itulah yang membiayai sekolah kami yang delapan orang itu. Lima orang bekerja di instansi pemerintah dan tiga orang membangun pekerjaannya sendiri.

Di masa-masa seperti ini, yakni saat-saat mengenang lagi masa-masa lalu bersama Ayah, Ibu, dan saudara, tiba-tiba saya ingin meloncat ke masa lalu. Bermain hujan di bawah kolong langit atau moballo yakni menangkap ikan menggunakan petromaks sepanjang sungai di malam hari. Di malam ketika pergi moballo dan sudah mendapatkan ikan, di bagian atas sungai yang berhutan-hutan sering terdengar suara pop...pop…pop…pop..pooooop, yang diyakini sebagai suara poppak atau poppok sejenis makhluk pemangsa manusia. Jika suara itu terdengar mengikuti, itu berarti dia minta jatah ikan tangkapan. Maka topoballo atau pencari ikan, langsung melempar ikan ke sumber suara sambil berteriak, “lekbakmako to’o le mua halii muande indee baremu” atau pergilah kau kalau sudah kau makan ini jatahmu”. Lalu suara itu hilang. Hehehehe.

Pada hari Rabu, 24 Desember 1987, terjadi banjir besar yang melanda Salubulung. Banjir besar ini juga melanda wilayah Pitu Ulunna Salu, Kabupaten Polewali Mamasa, dan bahkan seluruh wilayah Indonesia. Umurku baru sepuluh tahun. Kami luput dari kematian yang sesungguhnya sangat mungkin terjadi. Biasanya, setiap malam kami bermalam di ladang untuk mengantisipasi datangnya babi hutan yang memakan coklat dan merusak sayur-sayuran. Tapi karena malam itu adalah malam pasar di Mambi, ibu kota kecamatan, maka kami menginap di rumah saja untuk mempersiapkan sayur-sayuran yang akan dijual Ibu di pasar.

Sudah sekitar seminggu hujan mendera kampung. Jam dua malam, tiba-tiba terdengar suara mengguruh di atas lembah, tempat ladang kami. Terdengar lolongan orang dari atas bukit dan menyeru-nyeru bahwa terjadi tanah longsor hebat. Maka kami semua satu rumah dan warga kampung keluar rumah menyaksikan fenomena alam yang menggetarkan itu. Rumah sepupu di depan lembah, porak-poranda digasak longsoran tanah.  Jam enam pagi, tanah longsor semakin Berjaya saja. Sebuah batang pohon besar menabrak tiang rumah kami, mengakibatkan rumah kami jadi timpang. Gubuk kami yang seharusnya kami tempati malam itu, terkubur keganasan tanah. Seluruh warga Salubulung mengungsi ke sebuah kampung kecil yang bernama Tantallak.

Di Tantallak itulah kami ketahui bahwa Ayah tengah terkurung di tengah sungai Mambi yang ganas. Ayah baru pulang dari Polewali dan karena rasa penasaran, ia nekad menyeberangi sungai yang banjir untuk mengetahui keadaan kami. Ayah membuka pakaian, tinggal celana pendek saja yang ia kenakan. Pakaiannya ia angkat ke udara lalu menyeberang. Karena sungai dalam dan deras, Ayah lalu terbawa arus. Di tengah sungai ia melihat batu yang masih mencul ke atas. Ia mengarah ke sana lalu memeluk dan bertengger di atasnya. Batu itu masih sering dilewati arus sungai yang deras. Ayah lalu menghanyutkan dirinya ke batu yang lebih besar di belakangnya. Kurang lebih dua puluh meter lagi, terdapat daerah sungai yang rendah dan memiliki putaran arus yang ganas. Jika Ayah terseret ke sana, maka mungkin….

Mendengar berita itu, Ibu dan kami anak-anaknya diliputi kesedihan. Kakak perempaun saya membentur-benturkan dirinya di tanah, takut kehilangan Ayah tercinta. Siapa rela kehilangan kepala rumah tangganya.

Berita menyebar dan orang-orang dari berbagai kampung datang. Ratusan orang memadati tepi sungai. Ayah duduk kegigilan di atas batu. Batu itu seperti hidup, menumpu Ayah agar tidak terseret tangan-tangan arus yang kekar.

Beberapa orang kuat mencoba menyeberangi sungai, tapi tak sanggup melawan arus yang menggelar keperkasaannya. Ayah adalah tokoh utama saat itu. Ia pusat perhatian. Di antara kerumunan ratusan orang-orang yang rela dan ikhlas membantu menyelamatkan Ayah, terdapat saya anaknya yang diselimuti duka dan cinta. Air mataku yang bening hanyut bersama derasnya sungai yang coklat.

Orang-orang lalu menebang pohon betung yang tumbuh di tepi sungai. Di ujung bambu diikatkan tali besar dan di ijung tali diikatkan pula sebuah kayu sebagai pegangan Ayah. Bambu itu lalu diulur ke Ayah dan Ayah memegangnya. Terjadilah tarik-menarik antara Ayah, orang-orang tercinta, dan arus sungai yang deras.

Detik-detik inilah yang paling rawan dan menentukan. Jika tali putus, atau orang-orang kalah kuat dibanding arus sungai, maka Ayah akan pergi bersama air, ke laut yang jauh.

Ibu-ibu yang berdiri di tepi sungai agak ke atas, tak henti-henti memanjatkan doa kepada Langit sambil berdamai dengan air mata. Puluhan orang-orang menarik bambu. Ayah berpegang kuat di kayu ujung tali. Arus sungai tak henti menderas. Suara arus sungai mengumandangkan tanda-tanda akan kekuatan alam, kekuatan Tuhan. Doa, keikhlasan, dan pengkabulan Tuhanlah yang membantu Ayah sampai di darat. Badan Ayah seumpama belut tua yang gigil, bergetar, dan kepayahan. Dan orang-orang pada menyalami dan memeluk Ayah.

Ibu, saya, dan kakak-kakak ikut pula mendaratkan pelukan saying pada tubuh Ayah yang ringkih dan purba. Tuhan selalu menolong hamba-Nya di saat-saat paling rawan sekalipun.

Saya kembali ke kisah awal tentang Ayah. Sampai di Malabo sekitar jam enam sore. Di kota kecil yang diapit gunung itulah Ayah sempat berkata, “mungkin penyakit inilah yang akan mengantarku ke Sana”. Kami anak-anaknya hanya bisa menguatkan Ayah dan berdoa. Hal yang membuat saya paling sedih adalah karena saya tidak dapat menemani Ayah ke Polewali. Saya harus pulang ke kampung untuk sekolah (SD). Di rumah, ketika malam tiba, terasa sangat panjang dan dipenuhi rasa rindu dan kesedihan yang dalam.

Ketika Ayah sampai di Polewali dan masuk rumah sakit umum, secara medis penyakit Ayah tidak ada. Hasil foto rontgen pun tidak menunjukkan adanya kelainan di dalam tubuh Ayah. Anehnya, Ayah merasa sakit, panas, demam dan seakan-akan ada benda hidup yang selalu bergerak di kakinya. Pergerakan benda hidup itulah yang mengakibatkan rasa sakit.

Ayah lalu keluar dari rumah sakit tidak dalam keadaan sembuh sebagaimana seharusnya. Beberapa bulan setelah keluar, Ayah diobati secara nonmedis, dan alhamdulillah, atas izin Allah, Ayah sembuh.

Di sinilah, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Sejak dihinggapi penyakit “aneh” itu sampai sekarang, Ayah dikaruniai umur panjang. Ibu yang jarang sakit, dipanggil terlebih dahulu oleh Allah. Begitu pula dengan keluarga yang memikul secara bergantian dari Salubulung sampai Malabo, kini sudah banyak yang tiada. Alhamdulillah, Ayah masih dapat beribadah di sisa umurnya, meskipun sudah sangat sering masuk rumah sakit. Masih sangat jelas ekspresi wajah Ayah ketika melepas Ibu dari rumah duka di Polewali ke tempat peristirahatan terakhir April 2010 lalu, ia merelakan air matanya keluar sambil berkata seakan berpesan “O indona Hasa, penjolongko” (O Indona Hasa, duluanlah). Indona Hasa adalah panggilan keakraban/kesayangan dari Ayah dan kami anak-anaknya kepada Ibu. Hasa(nuddin) adalah anak pertama Ayah dan Ibu.



Maaf, saya harus diam sejenak. Saya mengenang lagi Ibu. Saya juga mengenang Ayah.



Ramadan 1431 Hijiriah ini, sebetulnya Ibu dan Ayah berkeinginan agar kami anak-anaknya lebaran bersama di Salubulung. Dan kami semua telah mengiakan. Ibu sudah mengingatkan pada pembicaraan di telepon bahwa Lebaran kali ini, kita satu keluarga akan berkumpul di kampung. Akan tetapi, sebelum Ramadan datang, yakni 24 April 2010, Ibu berangkat duluan ke haribaan Ilahi. Kami anak-anaknya berkumpul di Polewali untuk melepas keberangkatan Ibu. Rencana lebaran bersama, merayakan kemenangan di 1 Syawal, tidak terjadi. Manusia memiliki keinginan, Tuhan memiliki keinginan. Keinginan Tuhanlah yang selalu terjadi.

Untuk menghormati jasa-jasa Ayah kepadaku, kepada saudaraku yang lain, dan kepada Ibu, kupersembahkan puisi ini untuknya di usianya yang ke delapan puluh dua tahun.



Untuk Ayah Yang Menjernihkan Air Mata

Abdul Gani Djalil



engkau berumah di atas sajadah

menanam doa-doa dan menjernihkan air mata

bila tikaman jam menancap di daging waktu

engkau bangkit di atasnya

memandang ke hulu cahaya

ada senja terhidang malam berlinang



dan jari-jari angin

menangkap longsoran usiamu

kaki-kaki hujan

menyusuri kanal lukamu

lalu ia membawanya ke telaga itu

mencuci perihmu memastikan usiamu



kudapati engkau di kamar memar

lelap di rangkulan sajadah

dan bulu-bulu usia

mengelus mimpimu mengecup ubanmu

membiarkan nafasmu berhembus

di alun-alun firdaus.



Kendari, Februari 2008



Kini, di tahun 2010 ini, Ayah sudah tua. Umurnya 82 tahun. Ayah sudah semakin sering sakit-sakitan. Ia tidak lagi berperan seperti ketika masa-masa tahun 1860-an sampai 1980-an. Fisiknya sudah lemah dan secara psikis juga sudah tidak mampu untuk memikirkan dan menyelesaikan banyak persoalan, seperti yang sebutkan di awal. Tetapi kegiatan yang tidak dapat ditinggalkannya adalah membaca. Sebelum tidur ia harus membaca. Bacaanlah yang membawanya tidur. Masih kuingat ketika saya masih sekolah di SD Inpres Salubulung, tumpukan majalah Suara Masjid, lembaran agama dan buku-buku agama menghiasi kamarnya. Dari sanalah saya mulai belajar membaca.

Di majalah Suara Masjid itulah saya membaca kisah tragis seorang serdadu Afganistan yang menyurat kepada istrinya, Anna Karenina, tentang detik-detik kematiannya. Sang suami sementara diikat oleh tentara Uni Soviet di sebuah bom dan akan diluncurkan dari atas udara, ke bumi. Saya tidak tahu, apakah surat itu adalah karya fiktif atau memang kejadian sebenarnya. Saya tidak peduli. Saya jatuh cinta pada bacaan itu. Saya membayangkan bagaimana suasana batin sang suami ketika menghadapi saat-saat kematiannya. Bagaimana pula keadaan hati sang istri tercinta ketika membaca surat suaminya itu? Surat itu kubaca berulang-ulang sampai awal paragrap pertama kuhapal di luar kepala, seperti ini:

“Di antara gunung-gunung Afganistan dan bukit-bukit batunya, kutulis suratku untukmu yang terakhir. Benar yang terakhir. Sesudah itu, hanya beberapa jam lagi, aku akan meninggalkan dunia yang fana ini”

Masih adakah majalah itu sekarang, Ayah? Aku ingin membacanya lagi. Seandainya Ayah menulis semua kisah perjalanan hidupnya, mungkin berbuku-buku sudah engkau lahirkan. Tetapi karena Ayah tidak sempat menulisnya, maka kuniatkanlah menulis kisah kebaikan dan pengalaman hidupmu ini Ayah. Sungguh! Kelak ketika ada pihak yang berniat mulia menerbitkannya, di kemudian hari, orang-orang akan membaca kisahmu, mengambil hikmah dan cinta dari padanya.

Ya, meskipun mungkin, engkau, juga aku, tidak akan pernah membacanya lagi…