Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Rabu, 31 Maret 2010

Tujuh Dasawarsa Sapardi Djoko Damono

TEMPO Interaktif, Jakarta – Sastrawan Sapardi Djoko Damono genap tujuh puluh tahun. Sebuah acara musikalisasi puisi digelar digelar di Gedung Teater Salihara Pasar Minggu, Jakarta Selatan Jumat (26/3) lalu. Selama hampir dua jam, sejumlah seniman bergantian tampil di atas panggung. Mereka antara lain Happy Salma, Niniek L.karim, Sitok Srengenge, Jubing Kristianto, Umar Muslim, serta Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia.

Dalam sambutannya, sastrawan Goenawan Mohamad mengapresiasi karya-karya Sapardi Djoko Damono yang hingga saat ini masih dikenal masyarakat. Goenawan juga sedikit bercerita mengenai antusiasme masyarakat zaman dahulu yang begitu tinggi terhadap karya sastra. Setiap pembacaaan karya sastra selalu ramai dipenuhi oleh masyarakat yang ingin mendengarkan pembacaan sajak, puisi atau prosa dari para penyair terkemuka. “Dahulu orang datang untuk mendengarkan puisi seakan ingin mencari kebenaran,” ungkap Goenawan. “Kenangan itu seakan kembali kedalam ruang diteater salihara malam itu,” lanjutnya.
Suasana makin meriah ketika Happy Salma, Niniek L Karim dan Sitok Srengenge bersama-sama membawakan cerpen karya Sapardi yang berjudul Rumah-Rumah. Cerpen tersebut dibaca seakan mereka bertiga itu sedang berdialog. Kata-kata dan intonasinya terkadang membuat penonton tak tahan untuk bertepuk tangan.

Cerpen Rumah-Rumah secara garis besar bercerita tentang proses kelahiran sebuah rumah. Sapardi mencoba mengambarkan sebuah rumah yang dibangun oleh seseorang hingga selesai. Rumah itu dihuni oleh keluarga yang tidak harmonis. Ada rumah nomor 12 yang setelah selesai dibangun tak kunjung ada orang yang mau menghuninya. Juga ada rumah nomor 13 yang dianggap rumah hantu. Celoteh Rumah-rumah inilah yang kemudian membuat suasana perayaan 70 tahun sapardi Djoko Damono menjadi meriah.

Lain lagi dengan penampilan gitaris akustik Jubing Kristiano dan Umar Muslim yang membawakan tiga karya Sapardi, yaitu Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, Dalam Bis, dan Nocturno. Karya-karya tersebut diaransemen ke dalam bentuk lagu demikian apiknya sehingga membuat penonton yang hadir memenuhi ruang Teater Salihara pun ikut berdendang dalam petikan gitar akustik yang mereka bawakan.

Musikalisasi puisi menjadi puncak acara peringatan ulang tahun Sapardi. Sebelumnya, di tempat yang sama digelar Kuliah Umum tentang Puisi Sapardi Djoko Damono dengan pembicara Nirwan Dewanto. Dalam Makalah setebal 19 halaman, Nirwan menguraikan khasanah perpuisian Indonesia khususnya puisi karya Sapardi Djoko Damono. Dia mengatakan bahwa pada intinya puisi Indonesia tidak bergerak ke kiri maupun kekanan karena ia adalah sebuah lanskap yang dipandang pada momen tertentu. “Puisi Sapardi Djoko Damono adalah sebuah obyek di latar tengah di mana latar tengah itu yang manghubungkan antara latar depan dan latar belakang,” kata Nirwan.

Sapardi telah menghubungkan bentuk persajakan dengan kepribadian penyair dan dalam hal ini tidak berbeda dengan sejumlah pengamat lain, seperti Subagio Sastrowardoyo, yang mengatakan bahwa sajak adalah persaksian pengalaman penyair dan tugas kritik sastra adalah membangkitkan pribadi penyair yang terbayang di dalamnya.

Kuatrin-kuatrin sapardi Djoko Damono sepintas saja berbentuk empat seuntai, bentuk formalnya, termasuk rimanya yang tertib rapi, tidak kuasa menghalangi baris-barisnya untuk menyusul dan memanjang. Frase-frasenya saling memisah dan menyatu ganti-berganti. Ketidakteraturan dalam kerapian itulah yang menghasilkan minimalisme, pemadatan dan penyulingan imaji, yang mewadahi makna si penyair. “Bukan puisi murni, tapi puisi yang bersih, yang menyembunyikan si pengujar di bawah abstraksi benda-benda, atau puisi yang terjatuh kedalam pelukan simbolisme dan imajisme,” jelas Nirwan.

Menurut Nirwan, puisi Sapardi adalah puisi yang dapat dicintai dengan sederhana. Puisinya tidak menuntut dan isinya selalu membuka diri. “Mungkin kita bisa menggemari puisi Sapardi Djoko Damono dengan bersahaja, karena ia genap dalam hal gramatika dan semantiknya,” tutur Nirwan.

Ditemui seusai acara, Sapardi Djoko Damono mengaku sangat bahagia dengan perayaan ulang tahunnya kali ini yang menurutnya begitu spesial. “Ternyata karya saya masih diminati oleh masyarakat, bukan saja dari kalangan tua saja namun dari kalangan muda juga begitu tinggi minatnya,” katanya. Di usianya yang sudah sepuh itu Sapardi mengaku masih ingin tetap bermain-main sebab seni menurutnya sebuah permainan. “Seperti halnya puisi itu sebenarnya adalah permainan yakni bermain dengan kata-kata,” tuturnya.

Kepada para seniman Indonesia dia berpesan agar tetap kreatif walau usianya tidak muda lagi. Sapardi sendiri bertekad akan terus berkarya walau usianya sudah semakin senja “Saya akan tetap terus menulis apa pun bentuknya nanti,” kata Sapardi. Dia berharap karya-karyanya bisa bermanfaat bagi orang banyak. “Penyair bisa mati namun karyanya akan tetap abadi selamanya,” katanya. (Herry Fitriadi)

Sumber: Tempo Interaktif (Selasa, 30 Maret 2010)
Sumber gambar: tongkronganbudaya.wordpress.com

Senin, 29 Maret 2010

Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

Untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel. Lewat sayembara ini DKJ berharap lahirnya novel-novel terbaik, baik dari pengarang Indonesia yang sudah punya nama maupun pemula, yang memperlihatkan kebaruan dalam bentuk dan isi. Adapun persyaratannya sebagai berikut:

Ketentuan Umum

* Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
* Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
* Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
* Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.
* Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
* Tema bebas.
* Naskah adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan (sebagian atau seluruhnya)

Ketentuan Khusus

* Panjang naskah minimal 150 halaman kuarto, 1,5 spasi, Times New Roman 12
* Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap dalam lembar tersendiri, di luar naskah
* Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:

Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
Dewan Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya 73
Jakarta 10330

* Batas akhir pengiriman naskah: 30 September 2010 (cap pos atau diantar langsung)

Lain-lain

* Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2010 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada pertengahan Januari 2011.
* Hak cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis.
* Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
* Pajak ditanggung pemenang.
* Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.
* Maklumat ini juga bisa diakses di www.dkj.or.id
* Dewan Juri: Agung Ayu, Anton Kurnia, dan A.S. Laksana


Hadiah

Pemenang utama Rp. 20.000.000
Empat pemenang unggulan @ Rp. 7.500.000

Sumber: http://www.dkj.or.id/?opt=pages&cidsub=8&pages_id=549

Kamis, 18 Maret 2010

Beberapa Puisi Perjalanan


Rambut Kenangan

bumi mekongga
kuseret kaki ke terminal sabilambo
angin getir sambil lalu
dan kau lunglai
ke teluk rindu.
rambutmu baja
rebutan angin pomalaa
dan gugurannya
menjelma baris-baris hitam
dalam sajakku

Kolaka--Kendari,  September--November 2007



Istirah di Lembah Mowewe

perjalanan itu menderukan gemamu yang tandas
serupa raung mesin mengebor rahim Mekongga
matamu pijar adalah puncak pinus
memergoki cakrawala.

aku istirah di lembah Mowewe
merenungi pertemuan kita yang merah
di dermaga kolaka.
sambil meradang memandang nanah tanah
di keruk baja dan raja

hidup seumpama perahu menjala
lalu kalah terdampar di tebing senja.
o, betapa merdeka gelombang
bergulung lalu berguling
di dada-dada pantai
sementara kita membilang butir pasir yang rekat
di tubuh pendosa.

kau kenangkah
isyarat dan tabiat
berkobar di deru waktu
sebagian seumpama lintah
yang lain, haus darah
lapar daging?

lembah Mowewe yang gaib, dingin dilingkari angin
aku memetik bunga merah
menancapkan di rambutmu, tembaga.
sebelum aus digerus gerigi
sebelum raib digasak hangus

aku istirah di lembah Mowewe
di lembah matamu yangt meleleh
                                                            
Mowewe, 13 Agustus 2007


Tepi Hayat

jantungku angin mataku langit
seribu taifun mortir aku sejuta pasir

ledakan-ledakan kepala menyoraki gaza
aku seliat baja engkau sebetulnya busa
dari mulutmu luka dirajah tuba

di liang-liang pasir tepi barat
meletus anyir sampai ke tepi hayat

aku kembali ke tengah mayat
dalam baiat dalam rakaat berpeluru safaat
kusongsong engkau sampai tepi kiamat

kau renggut tanah darah
kau reguk kembali di cangkircangkir neraka

nyala yang tumbuh di gaza
nyawa yang subur di palestina

Kendari,  23 Januari 2009



Surat dari Matahari
:Aceh

pagi gugur
matahari tampak kabur
disongsong keranda laut
anak-anak berdatangan menuju kubur.
tak sempat kuantarkan doa-doa
sebelum engkau
melesak ke terminal tuhan.
air mata langit
dan gerimis yang jatuh bersuara parau
mengguyur serambi ini
yang tinggal batu-batu
dan sebiji peluru.
pabila malam pulang
hanya udara yang datang sempoyongan
bercerita tentang sepucuk surat dari matahari
yang berlabuh di meulaboh.

Bekasi, 13 Juni 2005


Sungai Bara¹

sulur-sulur bakau menjaring subuh
liur-liur subuh menyaring kabut

pagi seperti kaca, bening di kedalaman hening
laut seperti kata, takzim di kediaman angin

aku menjelma lumut di rahim tanah
mencelup rindu ke sungai bara

oe anak istri
oe anak negeri
di sungai bara, batu cinta membara!

Tarakan-Kendari, Februari-Mei 2009
¹nama muara di Tarakan



Angin Magrib Pasar Kembang
untuk koto dan thendra

angin magrib mengeleparkan bau hitam
mengantar kami ke lembah ilham
yang bernyanyi dan berapi
di lorong-lorong fana, dewa dewi
laron-laron putih dan kumbang-kumbang abu
membakar udara dan menandaskan diri dalam pesta
rambut cemeti membetot betis itali
ditangisi badan jalan papa
badan dan gairah terebus rayu, kaca dan kata beradu
pecah, melukai punggung malam

aduh
sebuah lecutan membabat jantung
irisan senar mengelana di daging tulang

tubuh kami ranggas sepanjang api
terkapar mendidih dalam lumpur matahari

angin magrib pasar kembang
menggeletar ke jasad malioboro
musim haru makin panjang
menggelepar sampai ke solo
rambut kami dirambati kabut begadang
lalu sekuntum mawar berbau pepsi menggoda, hallo

kami meramal langit yogya yang abu
terharu diberondong mata biru

di tengkuk trotoar, terbenam jejak seorang sufi
terbentur di dinding puisi, dibopong dewata bali

kami berzikir di pasar samar
berdoa di antara botol magrib dan tarian isa
adakah gugur hujan badar

kami berkendara keranda
melaju ke pemakaman sleman
angin magrib jatuh
tersedu di pintu subuh

selamat pagi

Yogyakarta-Kendari, 2009


Pada Ribuan Bandar

dari teluk mandar
aku labuhkan ribuan jangkar pada ribuan bandar
aku terkapar dan tersadar, gigir dan terbakar
dalam pembakaran asar

aku lafazkan salawat badar, merangsek dari fajar ke fajar
cinta tak kuasa ditakar seperti menghitung alamat yang samar
sebelum aku mafhum, takdir dan takbir
bergeluruh dipeluk banjar

Kendari, 23 April 2008

Selasa, 09 Maret 2010

DUA SAJAKKU DI WWW.POETIKAONLINE.COM

Wangi-wangi

di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan

ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan

pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam

kutinggalkan dermaga Wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan

Wangi-wangi, April 2008

Pare-pare

pagi letuskan bau buruh
menyembur ke udara subuh
ton demi ton badan dan barang
menumpuk dan mengerang
menghardik dan mengganyang leher dermaga
penumpang dan pencoleng
beradu rayu
sebelum lengking sirine
memanggil

pagi itu
dermaga pare-pare jadi bongkahan rindu
air mata dan sepi jadi bangkai perjalanan

Pare-pare, 14 Maret 2009

SAJAK-SAJAKKU DI LAMPUNG POST

POHON AIR MATA

sebuah pohon menggugurkan bunga-bunganya
buah berpamitan kepada tangkai
daun lerai ke sungai
masih sempat seekor burung menangkap sebutir buah merah
sebelum tersungkur ke batu
ditanggalkannya kulit ari hitam
lalu pakaian dalam putih
diserahkan pada siang
sampai kersang sampai legam
ketika taufan datang ia menghilang ke selatan.
masa depan musim panen, dienyahkan ke jantung diam
tak hanya itu.
akar-akarnya mulai bertangisan
merangkak ke atas bumi
rasanya getir seumpama disabit petir
pergi sebelum saatnya tiba
ketika akar tercerabut terenggut
pohon telanjang itu melenggang
akar-akarnya mencengkeram bumi
seperti ingin menulis puisi
di belakang suara gelegar sang jagal
gerigi baja mengerkah memenggal
pohon-pohon air mata, satu-satu.

Kendari, Agustus 2008


PERJAMUAN MAGRIB

istriku. azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku
ku nikmati ranumnya seperti menyuntuki batu-batu tasbih
merah di luar kamar bercengkerama di keningmu
matamu terbuka seumpama fajar terluka
bilal mengundang ke perjamuan magrib
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman

suamiku. bangunlah dari bebatan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut
temaram isya segera datang, satu-satu bintang bertandang
di luar, jemaah melenggang ke taman sembahyang
sebelum iqamah datang sebelum kiamat jelang

sepasang suami istri
membuka kamar membuka pagar
kaki-kakinya larik-larik puisi
hikmat dan nikmat ke terowongan magrib
jemaah bersorban berkerudung langit
mengerubung kiblat, lalu imam berkidung
oi, alangkah mawar allahu akbar
penawar jiwa-jiwa memar
rubuh dan rukuk dalam geluruh sembahyang

Kendari, 12 Agustus 2008


SURAT DARI MATAHARI

pagi gugur
matahari tampak kabur
disongsong keranda laut
anak-anak berdatangan menuju kubur.
tak sempat kuantarkan doa-doa
sebelum engkau
melesak ke terminal tuhan.

air mata langit
dan gerimis yang jatuh bersuara parau
mengguyur serambi ini
yang tinggal batu-batu
dan sebiji peluru.

pabila malam pulang
hanya udara yang datang sempoyongan
bercerita tentang sepucuk surat dari matahari
yang berlabuh di meulaboh.

Bekasi, 13 Juni 2005


WONDULAKO, LAMEKONGGA

deretan kelapa deretan cokelat
mendekap rumah-rumah sederhana
dari ujung ke ujung pagar bambu satu warna
sebuah papan bertuliskan
sejuk sentausa sederhana

wondulako si tanah merah
rakyatnya petani ramah
kulitnya cokelat lamekongga
rambutnya rerimbun daun kelapa
bahasanya selatan tenggara
saat matahari menggelantung di pepohonan
dedaunan hijau menjelma keemasan

para ayah membawa kelapa angkutan
para ibu menjunjung keranjang buah-buahan
para lekaki memikul cokelat petikan
para nona menggendong semangka kehijauan

wondulako, lamekongga
si tanah merah kolaka daratan
deretan kelapa deretan cokelat
rakyatnya petani ramah
kulitnya cokelat lamekongga
matanya teduh pantai kolaka
tatapnya gerhana bulan
bahasanya selatan tenggara
pabila aku berlabuh di dermaga kolaka.

Kolaka, Agustus 2004

Mereguk Cinta di Negeri Butuni

Oleh Syaifuddin Gani

Menginjakkan kaki di Negeri Butuni selalu meninggalkan jejak yang bermakna. Negeri Butuni yang kumaksud di sini adalah Bau-bau. Secara administratif antara Buton dan Bau-bau memang berbeda, tetapi secara kultur memiliki kesamaan. Meskipun setelah pemekaran memisahkan keduanya, lahir pula “kebudayaan” yang berbeda. Bukankah setiap insan dan ruang memiliki lorong atau visi perbedaan yang merupakan keniscayaan? Kembali ke soal pengalaman saya.

Pertama kali menapaki Pelabuhan Murhum ketika KM. Kerinci mendarat di pinggul pantai, September 2005. Itu terjadi ketika saya pulang dari petualangan budaya dan rohani dari Surabaya, Solo, Yogyakarta, Banten, dan Jakarta. Kota-kota budaya itu saya jelajahi ketika pentas teater bersama Teater Sendiri. Momen itu pulalah yang mempertemukan saya dengan kalangan pencipta kebudayaan di Indonesia misalnya Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, Ratna Sarumpet, Agus R. Sarjono, Anto Baret, Rieke Diah Fitaloka, Yudi Ahmad Tajuddin, Gus Dur, maupun Budiman Sujatmiko. Pertemuan itu bisa berupa perbincangan mendalam, tatapan mata, jabat tangan, dan percumbuan hati. Persentuhan fisik, perbincangan, dan pertemuan mata disadari atau tidak memberikan pengaruh bagi proses kematangan seseorang.

Ah, mengapa tiba-tiba melenceng dari pembicaraan awal? Baiklah akan kuteruskan. Sampai di mana yah. Oh ia, ketika badan Kerinci merapat di pinggul pantai. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, saya menghikmati pemandangan lautan yang maha indah. Secara perlahan, matahari merekah dari rahim laut. Saya tak menyia-nyiakan sedetik pun. Ada warna oranye, kuning telur, bias emas, dan putih yang memancur ke atas udara.

Subhanallah. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aura matahari tidaklah panas dan ganas. Angin kesejukan melanglang dari matahari yang seperti bayi mungil itu. Detik demi detik berlalu. Matahari yang sekonyong-konyong lahir, ibarat telur yang keluar dari rahim ayam. Dan beberapa menit setelahnya, auranya semakin hangat, panas, dan menggerahkan. Di sini saya mereguk Cinta Sang Ilahi. Wah, di sana Negeri Butuni seperti negeri ajaib yang lahir di tebing bukit.

Teeeet….. teeeet…. teeeet. Saya pun meninggalkan geladak dan menuruni tangga. Di bawah, para buruh pelabuhan menawarkan jasa. Suasana laut yang keras dan asin menyongsong. Memasuki ranah Butuni sangat terasa aroma kesultanan. Ada patung Sultan Muhammad Yisa Kaimoeddin yang berdiri tegak. Patung ini adalah penanda utama bahwa Butuni adalah sebuah wilayah kerajaan/kesulatanan. Tidak seperti patung Lulo di Kendari Beach yang tak berkarakter, patung Sultan Murhum ini memiliki nilai artistika, estetika, dan arsitektural yang khas. Sebuah kota yang akan dikenang sejarah adalah apabila dibangun di atas pilar kebudayaan yang melahirkannya. Di sini saya mereguk cinta yang ditawarkan Negeri Butuni.

Lalu di penghujung 2006, saya kembali mengelana di negeri yang disebut pusat bumi. Saya datang bersama penyair Irianto Ibrahim dan fotogrefer Arif Relano Oba, keduanya berdarah daging Butuni. Sulawesi Tenggara harus berbangga memiliki dua anaknya yang menjadi seniman. Keduanya telah memperkenalkan khazanah lokal melalui puisi dan karya foto ke penikmat seni. Kami bertiga menjadi pemateri Pelatihan Musikalisasi Puisi bagi Siswa SLTA se-Kota Bau-bau.

Mengangungkan, walikota Bau-bau M.Z. Amirul Tamim, yang membuka pelatihan itu memiliki kepekaan dan naluri puitika yang bagus. Usai memberi sambutan dan membuka secara resmi, ia pun melontarkan puisi yang dicipta seketika. Ia lahir sebagai improvisasi. Isi yang dikandungnya mengenai kecintaan pada Butuni, rakyat, dan warisan kesultanan.
Belum kau kunjungi Butuni sebelum bertandang ke Benteng Keraton Buton. Inilah keyakinan yang harus dicamkan pengunjung budaya. Butuni identik dengan Benteng Keraton Buton. Bahkan penyair sufi asal Madura D. Zawawi Imran yang ke Kendari saat MTQ Nasional silam, berkunjung ke Keraton dan mencipta puisi di sana. Engkau masuk dari arah mana? Utara, timur, selatan, atau barat? Dari gerbang lawana anto, lawana kalau, atau lawana labunta?

Eit, jangan bangga dulu. Apakah Anda sudah berpose di liang persembunyian Arung Palakka sang Raja Bone?. Namun, belum sempurna kau berkunjung ke Keraton Buton bila tidak mampir ke Makam Sultan Murhum (Sultan Muhammad Yisa Kamimoeddin). Dijemput doa-doa murni oleh ina-ina, engkau pun dipersilahkan menaiki tangga purba dan tua, lalu menghikmati makam bersejarah itu. Setelah itu Anda boleh tafakkur di Masjid Agung Keraton. Di sini, Cinta (dengan C kapital) benar-benar menyongsongmu.

Di depan masjid terdapat “papan pengumuman” berwarna hijau dan tertulis Batu Popaua. Konon di Batu Popaua, di situlah pertama kalinya Wakaakaa menginjakkan kakinya di bumi Butuni. Sehingga dalam sejarah kerajaan/kesultanan Buton, Batu Popaua menjadi tempat pelantikan raja dan sultan. Masih di dalam Benteng Keraton, Anda dapat melihat-lihat keunikan rumah adat Malige, atau jangkar besar, serta daftar urutan raja/sultan yang pernah memimpin. Dan Anda boleh hormat dan takzim di depan tiang bendera yang menjulang ke cakrawala. Konon ia lebih tua dariapda masjid keraton. Dialah penyaksi sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton. Ia menyimpan darah, airmata, cinta, pusaka, dan cerita yang abadi.

Dengan demikian, Benteng Keraton Buton merupakan warisan sejaran dan budaya yang tak ternilai harganya. Mungkin karena keeksotikannya sehingga cerpenis muda Indonesia berdarah Buton, Waode Wulan Ratna, melahirkan cerpen bernuansa Buton. Cerpennya yang terakhir mengeritik sistem strata sosial di Buton yaitu kaomu, walaka, batua, dan papara. Sehingga dalam cerpennya yang berjudul “Bula Malino” tokoh Harima berstrata kaomu ingin menikahi La Sinuru yang berstrata batua. Inilah adalah pesan dan upaya “menyamakan” derajat kemanusiaan setiap insan. Hal ini juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan Oka Rusmini dalam karya sastranya atas strata social di Bali.

Namun, sebelum pulang meninggalkan Butuni tahun 2006 itu, saya harus melepas kepenatan di Pantai Kamali di malam hari. Pantai Kamali, sebuah ranah yang menjadi ikon lain Kota Bau-bau. Lampu mercury berjajar sepanjang pantai seumpama matahari mungil yang binar. Di pinggir pantai, ibu-ibu dan anak gadisnya yang disapa waode, memanjakan pengunjung dengan makanan dan minuman yang beragam. Singgah pak. Mau minum saraba, kacang goreng, atau fanta? Jangan malu-malu, dan.

Sambil membuka kulit kacang, saya dilanda kenangan atau ironi. Memang banyak orang serupa kacang, yang lupa akan kulitnya. Wow, kureguk saraba sambil memandang gedebur gelombang. Beberapa kapal kayu yang dierami lampu warna-warni, siap menghantar penumpang ke kampung halaman. Ada yang bertolak ke Wanci, Tomia, atau Bungku Sulawesi Tengah. Dan inilah pemandangan yang menjadi kenangan tak terlupakan. Aku masih sempat menaiki KM. Acita yang karam itu. Oh nasib. Oh takdir. Oh maut. Oh Cinta.

Waina, sepulang dari pantai terdengar suara gambus dan syair dari sebuah gudang. Kami masuk dan melihat tontonan langkah. Seorang ode tua mengiris malam dengan pertunjukan kabhanti, kesenian tradisi yang hanya dimiliki negeri ini. Negeri Butuni sangat terasa karakter dan kekhasannya. Sebuah wilayah yang memiliki akar tradisi kuat ditopang oleh kehidupan agamis yang rekat. Kabhanti, sebuah puisi tak terperi.

Pembaca budiman, apa yang saya tulis ini adalah pandangan atas Neegri Butuni dari satu sisi, dan sebagaimana sebuah daerah, ia memiliki beratus sisi yang siap dimasuki. Paling tidak ada sisi gelap dan sisi terangnya.

Pagi hari, pukul 07.30. Saya meninggalkan Butuni. Seombak demi seombak, kapal cepat menderu dan menyeru: selamat tinggal Negeri Butuni, negeri para wali, dan negeri pujangga.***

Kendari--Bau-Bau, 2006

Senin, 08 Maret 2010

KENDARI DAN NEGOISASI DIRI

Pada tahun 2006, saya menghubungi Kang Wan Anwar (Alm.) untuk membaca dan menulis pengantar buku puisi "Sendiri 3". Dengan senang hati, Kang Anwar menerimanya. Saya selalu membaca ulang tulisan ini almarhum. Di bagian awal tulisannya, sangat menarik dan mengaharukan, bagaimana pandangan dan penghayatannya tentang Kendari. Semoga almarhum mendapat tempat yang indah di sisi-Nya.


Oleh: Wan Anwar

Perkenalan saya dengan hal ihwal Kendari masih amat terbatas. Dua kali menginjakkan kaki di Kendari (dan Raha) jelas tidak cukup untuk mengenal dan apalagi memahami Kendari (manusia, masyarakat, alam, sejarah, dan kebudayaannya). Meski demikian beberapa kenangan melekat dalam ingatan. Itu cukuplah membuat Kendari menjadi suatu tempat khusus dalam diri saya. Kenangan itu sebagian bersifat pribadi, sebagian lagi menyangkut kemasyarakatan dan kebudayaan.

Dua kali ke Kendari (sekali bersama rombongan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya, sekali lagi bersama pelukis Herry Dim), masing-masing kurang lebih seminggu, telah mengenalkan saya pada banyak hal. Pengenalan yang paling menyenangkan tentu saja karena mendapati banyak kawan di Kendari yang intens menggeluti kesenian, khususnya teater dan sastra. Entah kenapa jika di suatu kota mendapati sejumlah orang menggeluti kesenian, hati ini sedikit tenteram. Selalu ada harapan, dengan adanya orang-orang berkesenian, maka “pembangunanisme”, modernisasi, dan gelegak globalisasi sedikit banyak akan “dikontrol”, dikritisi, dan bahkan dinegoisasi sehingga pembangunan tidak melulu berpijak pada percepatan ekonomi dan pembangunan fisik lainnya. Ini penting karena pembangunan seyogyanya mencakupi keutuhan dan keunikan manusia itu sendiri: darah-daging, lahir-batin manusia dan masyarakatnya.

Jika benar harapan di atas, berarti saya berpandangan bahwa kesenian (katakanlah teater dan sastra) adalah suara lain, mungkin ganjil dan kecil, yang memiliki daya untuk bernegoisasi dengan suara (budaya/kuasa) dominan yang seringkali menghegemoni keadaan. Suara dominan antara lain modernisasi atau globalisasi yang datang dari berbagai penjuru dunia, utamanya semangat kapitalisme dari negara-negara Barat. Saya katakan “antara lain”, karena suara dominan dapat saja berupa “ideologi pusat” bernama Jakarta, bahkan budaya tradisi yang tidak selalu berisi “kearifan-kearifan lokal”.

Suara dominan agaknya sudah menjadi “wataknya” sendiri melakukan kooptasi, hegemoni, dominasi yang pada ujungnya “penaklukan” pada suara-suara kecil yang disisihkan. Sebagai manusia/ masyarakat yang pernah mengalami pahit-getirnya penjajahan dunia Barat (kolonialisme), adakalanya kita melestarikan watak kolonial, selain tentu menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan. Sementara itu sebagai bangsa yang lahir dari keragaman budaya, bahkan keragaman kerajaan di masa lampau, tidak jarang kita mewarisi sifat chauvinis (membanggakan masa silam kerajaan/etnisitas) yang gilirannya menumbuhkan rasisme dan penindasan terhadap si liyan (the other). Oleh karena itu setiap suara dominan, dari manapun sumbernya, harus dikritisi bahkan dilawan.

Dapatkah kesenian, sastra dan teater khususnya, melawan suara dominan? Bukankah kesenian, hampir di manapun dan kapanpun, selalu menjadi suara sunyi yang kesepian? Dengan kata lain tidak dapat mengalahkan non-kesenian, katakanlah politik dan ekonomi?

Tentu saja kita tidak bicara soal “mengalahkan” melalui kerja kesenian karena ambisi mengalahkan bagian dari sifat penindasan. Kesenian, dengan suara sunyinya, beritikad untuk “menghilangkan” penindasan, sekurang-kurangnya suara dominan dapat mempertanyakan kembali dominasinya. Selebihnya, suara dominan akan menghargai suara-suara sunyi terpinggirkan, melakukan interaksi intensif, dan pada gilirannya suara-suara sunyi terpinggirkan mampu turut serta membangun kompleksitas budaya dan masyarakat. Dengan kata lain interaksi suara dominan dan suara-suara terpinggirkan menghasilkan budaya kreatif dan produktif.

Tapi apa yang saya ketahui tentang Kendari? Suara dominan macam apa yang “menguasai” Kendari? Suara-suara terpinggirkan apa pula yang sedang berinteraksi, bahkan melawan, suara dominan?

Sekali lagi pengetahuan saya tentang Kendari amat terbatas. Dalam dua kali kunjungan ke kota di Tenggara Sulawesi ini saya hanya tahu bahwa di Kendari ada banyak toko menjual makanan lezat biji jambu mente. Di beberapa titik lokasi teluk Kendari ada komunitas Bajo. Di teluk Kendari ada keramaian malam muda-mudi berkencan, restoran terapung, jalan-jalan lebar lengang di kanan-kirinya melayah hutan bakau, kapal-kapal jet-foil di Pelabuhan Kendari, warung remang-remang dengan musik hingar bingar, pasar Wua-wua di salah satu bagian kota, mini market dan supermarket, restoran-restoran fast-food, warung-warung tenda malam hari menjajakan sea-food, lalu lintas angkot berseliweran dengan mobil-mobil pribadi seperti di banyak kota di Indonesia umumnya, kampus luas tetapi asrama mahasiswanya kurang terurus, perumahan dosen di mana Ahid Hidayat tinggal, perusahaan tambang dan penyeberangan ke Makasar di Kolaka, pelabuhan fery di Tampo yang menghubungkan Kendari dengan Muna dan Buton. Ah apalagi ya? Pengetahuan saya tentang Kendari benar-benar terbatas.

Kadang menyesal mengapa sewaktu di Kendari tidak banyak “berpetualang” untuk mengetahui kekhasan Kendari. Saya belum sempat secara mendalam bertanya pada kawan-kawan mengenai empat etnis (Tolaki, Muna, Buton, dan Moronene) dominan di Kendari. Saya belum sempat bertanya sejarah, mitos, dan cerita-cerita rakyat Kendari. Saya belum tahu bagaimana lembaga adat menyelesaikan jika ada konflik antar-etnis atau sesama etnis. Meski saya bersyukur sedikit tahu bagaimana caranya orang luar Kendari kalau ingin meminang gadis Kendari.

Saya berharap bisa datang lagi ke Kendari. Selain untuk mengenal lebih jauh Kendari, saya juga ingin jalan-jalan ke Buton. Dari beberapa buku sejarah dan filologi, kesultanan Buton sering menjadi bahan pembicaraan, terutama dalam kontaknya dengan kerajaan di Makasar, Bima, kerajaan di Jawa dan Sumatera, dan kolonial Belanda di masa silam. Kontak-kontak yang selain menunjukkan awal modernisasi/globalisasi, juga kontak-kontak menyangkut negoisasi (perkawinan putra-putri antarkerajaan misalnya) untuk menghindar konflik dan perang (meski konflik dan perang terjadi juga). Semua itu agaknya penting untuk lebih mengenal, menghayati, dan memahami Kendari.

Tapi saya beruntung sempat menyeberang ke Raha/Muna, meskipun saya iri kepada penyair Cecep Syamsul Hari yang begitu tiba di Raha sebuah sajak berjudul “Raha” lahir dari tangannya. Oleh pemilik hotel (hotel yang sebenarnya rumah) di Raha saya diantar ke sebuah desa, malam-malam, untuk melihat kain tenun khas Muna. Pada kedatangan kedua, saya lebih beruntung karena sepanjang malam ditemani Gani, Roy, dan Inal (yang pertama seniman Kendari asal Mandar, yang lainnya seniman Raha) jalan-jalan ke pantai/pelabuhan Raha. Bersama mereka saya menikmati lampu-lampu neon berderet sepanjang pelabuhan, menikmati debur ombak pelahan, serbuan angin laut, dan kesibukan malam pelabuhan. Mereka bicara banyak tentang Muna, meski sebagian tak terekam dalam ingatan. Mereka bercerita tentang tugu pembatas Raha, tentang kebersahajaan seorang ibu tokoh politik di negeri ini, tentang kontu kowuna (batu berbunga), tentang rencana pembangunan hotel di tepi pantai menjelang PORDA, tentang sumber minyak di bawah tanah Raha, dan tentang penebangan kayu jati yang terus berlangsung hingga kini.

Ah kayu jati? Dengan sedih malam itu saya saksikan bagaimana truk-truk mengangkut kayu jati yang sudah diikat rapi dan langsung dimasukkan ke kapal-kapal yang akan menyeberangkannya entah kemana. “Kayu jati Raha kualitasnya nomor wahid,” begitu kata Roy. Saya terhenyak sejenak: kayu jati, nomor wahid! Betul-betul spiritual: kayu jati kayu yang hebat (makanya kita menggunakan ungkapan “jati diri” untuk mengungkapkan etos bangsa) dan wahid bukankah ahad (satu)? Pulau Muna ini pulau yang menyimpan “jati” kualitas ahad! Tentu tak elok jika penggerogotan atasnya (baik alam maupun kebudayaan) dibiarkan. Pada kesempatan ini saya ingin meminta sesuatu pada Roy dan Inal: jaga pulaumu dengan seluruh dayamu. Dapatkah kesenian berperan dalam hal ini?

Pada sebuah pagi, Roy dan Inal mengantar saya ke Pasar Raha. Sebuah kehidupan cukup ramai dibandingkan jalan-jalan kota Raha yang lengang dan lebih banyak dilintasi sepeda motor. Wa Ode Erawaty, gadis Raha yang juga menemani, mampu membuat sejuk kota Raha yang panas. Kulitnya yang putih kehitaman seperti kulit roti tak matang di pembakaran: mengingatkan saya pada sebuah film Prancis yang tokohnya (orang kulit putih) ingin berkulit coklat sebagai bentuk negoisasi budaya terhadap tempat tinggalnya: sebuah kota di Amerika Latin, bekas jajahan Prancis!

Penyeberangan ke Raha (sekali melalui Tampo, sekali lagi melalui pelabuhan Kendari) juga menyimpan kenangan. Dari laut lepas yang tidak terlalu keras ombaknya dapat terlihat bagaimana indahnya tepi-tepi Sulawesi Tenggara. Di selat Cempedak ombak memang membuat jantung agak berdetak, tetapi pada saat itulah tercipta sebuah sajak:….jantung berdetak di selat cempedak/ pulau-pulau meminta untuk kudekap/ superjet melaju ke laut biru/ memburu yang kita tuju…(2004)

Apa yang kita tuju? Siapakah “kita”? Pada saat itu yang ada: saya, Era, dan Gani, selebihnya penumpang lain. Tapi dalam konteks tulisan ini, izinkan saya memaknainya secara lain: apa yang kita tuju dengan berkesenian, entah itu berteater atau bersajak sebagaimana dilakukan kawan-kawan yang dihimpun Teater Sendiri ini?

***
Betapa senang ketika Syaifuddin Gani mengirim sms kepada saya yang intinya meminta saya mengantari sajak-sajak yang diantologikan menjadi buku Sendiri 3. Buku ini akan diluncurkan/dibacakan dalam pembukaan Festival Teater Pelajar (FTP) Se-Sulawesi Tenggara dalam rangka 14 tahun Teater Sendiri yang diasuh Achmad Zain, sebuah kelompok teater yang aktif mementaskan garapannya, baik di kota Kendari, Sulawesi Tenggara umumnya, Makasar, Banjarmasin, Samarinda, Surabaya, Yogyakarta, maupun Jakarta. Sesuai namanya, meski mungkin “sendiri”, mereka terus berproses, sebagaimana ditekadkan Achmad Zain melalui sajaknya: Din/ melangkahlah selama kaki kanan/ dan kaki kiri belum menyatu (sajak “Sembilan Anak Tangga”). Ungkapan sederhana yang mengejutkan, sekaligus simbolik mengingat judul “Sembilan Anak Tangga” mengisyaratkan keharusan tuntasnya menempuh perjalanan untuk mencapai tangga sepuluh: dan di puncak tangga ada cahaya membias/ biarkan menerpa wajah kita. Sejenis puncak pencerahan atau spiritual hasil proses perjalanan yang akan menjelmakan “jati diri” para pejalan budaya.

Pengalaman dua kali menikmati Kendari (dan Raha) ternyata tidak sama dengan pengalaman membaca lebih dari 100 sajak dari 11 penyair dalam buku ini. Itu adalah bukti bahwa Kendari dalam pencerapan saya adalah segugus versi dan Kendari yang direspons/ dihadirkan 11 penyair adalah versi yang lain. Keberagaman pencerapan, juga tafsir, amat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman setiap orang, baik secara kuantitatif maupun terutama kualitatif. Setiap individu adalah perspektif dan karena itu akan melahirkan gambar yang beragam. Dari asumsi ini saja sudah muncul keharusan berkomunikasi, bahkan bernegoisasi, dalam merespons hal-ihwal yang hadir baik secara diakronis (perspektif waktu) maupun sinkronis (perspektif ruang). Uraian ini tidak lain sebentuk komunikasi dan negoisasi dalam perspektif ruang dan waktu pencerapan.

Negoisasi budaya niscaya tak terelakkan. Pengalaman-pengalaman pahit di masa silam (sejarah) karena ulah kolonialisme dan kenyataan kini yang jauh dari harapan adalah kontradiksi yang menuntut negoisasi. Sekurang-kurangnya respons bila solusi belum mungkin dilakukan. Lagi pula sajak tidak ada urusan dengan solusi, jika pun ada biarlah pembaca yang bicara. Kontradiksi itu sering membuat para penyair gelisah sebagaimana diungkapkan Syaifuddin Gani dalam “Langit Tak Terjangkau” yang merespons Losari (pantai di Makasar): sepanjang losari/ kau sabdakan cerita-cerita silam/ dan kau tikamkan lagu asing…..dan si mata biru itu/ telah lama berlalu/suatu saat aku akan datang lagi, katanya/ tak lagi memanggul senjata/ tapi mendulang sejarah dan pusaka.

Negeri ini memang sudah merdeka, tapi apakah betul merdeka sebenar-benar merdeka? Tentu belum. Selain beragam kuasa dari berbagai belahan penjuru dunia terus mengintai, kita juga harus berhadapan dengan para penindas dari negeri dan lingkungan sendiri. Kau lirik dalam sajak di atas bereaksi atas keasingan di kotanya:…kalau kau datang, kuberondong kau/ dengan sebilah siri’/ katamu, sambil pasakkan pagar dan pugar. Cukup tegas bahwa kuasa lokal, mungkin kearifan lokal (siri’) dalam sajak itu dihadapkan pada suara dominan (modernisasi/ globalisasi yang berbau Barat) yang representasinya “anak dara berbaju bodo/ menari di atas panggung” di tengah “kecapi yang merintih dan teriris”.

Dalam cara berpikir dikotomis atau oposisi biner adalah lumrah bila hitam dihadapkan pada putih, tradisi ditentangkan pada modernisasi. Akan tetapi kuasa dominan tidak selalu datang dari Barat dan tradisi tidak selalu menjadi harapan. Sering muncul kebimbangan dan persoalan di sini. Meski dengan sajak yang anasirnya kurang terjaga, dalam sajak “Kekalahan Dini Hari” Sendri Yakti mengungkapkan persoalan itu: Malam marut, kata-kata mengerucut/ menerobos sejarah yang menggumuh di sudutsudut/ di udara merambat musik bingar, igau yang riuh/ percakapan jadi liat dan menoreh pedih/ sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka…. kita berdebat tentang feodal yang kataku belel/ tapi masih kau panggil ayahmu ode/ tak seperti kudecak lidah/ dan memanggil kucingku sultan…

Dua sajak di atas, meski bukan sajak terbaik dari kedua mereka, melukiskan situasi masyarakat poskolonial, di mana sisa kolonialisme masih mengganjal, modernisasi dan globalisasi tak bisa membuat manusia tentram, tetapi pada saat bersamaan tradisi lokal belum mampu menaungi manusia dalam rasa betah. Kembali ke tradisi lokal belakangan dianggap sebagai jalan untuk menyikapi keadaan. Tentu saja bukan tradisi asal tradisi, melainkan kearifan lokal yang dapat membantu menyelesaikan banyak soal kehidupan dewasa ini yang kian kompleks. Sayangnya seperti diungkapkan Irawan Tinggoa tradisi sebatas ritus belum dapat berbuat banyak. Perhatikan sajak “Ritus Mosehe”, terutama bait terakhir: sepejam matataawu dihunuskan:/kerbau putih sebagai tumbal/darahnya bercecer mengusir sesal/ia lemas telah mengusir tikai/yang tak padam.

Di antara penyair dalam buku ini, Irawan Tinggoa menunjukkan hasrat besar merespons banyak soal dengan pendekatan tradisi lokal. Sekurang-kurangnya banyak istilah-istilah lokal dibaurkan ke dalam komposisi sajaknya yang cukup lancar mengalir. Kepekaannya pada momen dan hasratnya untuk “mengucapkan” tradisi berpotensi untuk melahirkan sajak sederhana tetapi mendalam. Responsnya terhadap suasana kota terasa sederhana dan jenaka: selokan kota gerah berpenuh cena/di tepi-tepi rumah kumuh membuncah/mengepul bau kemenyan/menebar aroma kematian/seorang dukun kota/sesaat meringis diserang bala diare (sajak “Kota”).

Hiruk pikuk kota siang malam di banyak daerah di negeri ini sering menjadi tema dan kegelisahan para penyair ketika memaknai diri dan kehidupan di sekitarnya. Memang kontradiksi (harapan dan kenyataan berbeda) adakalanya menarik direspons dengan sederhana dan jenaka sebagaimana dilakukan Irawan dalam sajak “Kota” di atas. Lihat pulalah sajak Karmil Edo Sendiri yang berjudul “Gelap”. Sajaknya yang merespons kota dimainkan lincah dengan wacana Edison (penemu listrik) dan Einstein (penemu teori relativitas) dalam ikatan persoalan gelap dan terang keadaan. Bait akhir sajak ini jelas merupakan kritik terhadap perilaku sebagian masyarakat yang suka melakukan “transaksi” di “tempat gelap”.

Saya tidak tahu apakah di Kendari dan sekitarnya ada tradisi lisan yang mengandalkan kekuatan irama dan bunyi kata. Yang jelas Didit Marshel tampak kuat memainkan irama dan bunyi kata-kata, sebagian mirip pantun bahkan mantra, meski pada sebagian sajak terasa dipaksakan. Kekuatan memainkan irama dan bunyi kata tampak tegas dalam “Negeri Batu” misalnya. Banyak kata batu yang tentu bukan sembarang batu digunakan Didit untuk mengkritisi kehidupan kita sekarang yang memang sudah membatu. Sebuah keadaan yang meminta dipecahkan, oleh sejenis “kapak” (idiom Sutardji Calzoum Bachri) atau oleh benda khas di lingkungan Kendari dan sekitarnya.

Sajak pada umumnya memang suara lain, suara aneh yang ganjil, yang sunyi dan kesepian, di tengah riuh kota, manusia dan masyarakat batu yang berkata-kata bukan atas kesadaran. Suara penyair dikekalkan dalam kata. Dan kata, sebagaimana diungkapkan Irianto Ibrahim, meski diambil oleh orang tidak akan pernah kehilangan hakikatnya. Bacalah “Sajak untuk Dhani” yang menghidupkan kata-kata dalam permainan dan renungan:…Tetaplah bersama kata/ Biarkan ia tumbuh dan tegak berdiri/ Ketika satu orang mengambil satu daunnya/ tidak berarti ia kehilangan nama pohonnya.

Kata, itulah harta penyair yang paling berharga. Jika penyair kehilangan kata, habis sudahlah eksistensinya. Itu sebabnya setiap saat penyair bergulat dengan kata. Tentu saja bukan semata bermain sekedar memainkan kata-kata, melainkan menggali kemungkinan kata-kata. Ironisnya sekarang ini penyair hidup di masyarakat yang nyaris kehilangan kata-kata. Benda-benda telah menggantikan komunikasi sehari-hari. Benda-benda merebut posisi kata sebagai citra. Benda-bendalah yang kini menjadi citra: rumah, mobil, handphone, pakaian, dan benda-benda produk industri lainnya. Teater mutakhir di negeri ini, juga di dunia, menyikapi kenyataan ini dengan menghadirkan pergelaran tanpa kata-kata. Teater kembali ke akarnya semula: tubuh dan segala kemungkinan potensi tubuh.

Lalu apa yang akan dilakukan penyair ketika kata telah direbut iklan dan retorika politik? Haruskan kita hanya dan hanya berkawan sunyi sebagaimana diungkapkan Iqbal Oktavian dalam sajak “Bersama Kesunyian”? Atau “kita hanya kuasa/ menunggu kapan saat itu tiba/ di mana waktu berhenti/ dan kita ditagih pertanggungjawaban/ sang waktu (sajak “Perjalanan Waktu” karya Tongis Alamsyah)? Dan karenanya kita tak perlu melakukan apa-apa karena kata yang kita cipta akan sia-sia, karena waktu dan tempat kita berdiam telah melakukan segalanya, dan kita cukup “melekat pada tubuhmu” (sajak “Kota Muna” karya Royan Ikmal”). Dan kemudian alam memberi musibah karena kita melalaikannya seperti diungkapkan Royan Ikmal dalam “Syair Muna yang Terbang”?

Saya kira saya tak perlu pesimis. Meski sajak-sajak para penyair di buku ini lebih banyak menyampaikan gambaran muram, tetapi kesetiaannya untuk terus berkata-kata membuat saya cukup optimis. Kesanggupan mereka bertahan di “negeri batu” dan keriangan mereka “memainkan” kata-kata tentu menambah optimisme saya. Pasti saya akan lebih optimis jika mereka lebih serius belajar membaca dalam pengertiannya yang luas, lebih khusuk mempelajari masa silam dan masa kini, baik di Kendari maupun di luar Kendari.

Masalah penyair tentu bukan sekedar kata-kata. Jika kata-kata itu representasi kehidupan, interaksi kehidupan, dan unsur pembentuk kehidupan, maka persoalan mendasar penyair adalah kehidupan itu sendiri. Menyelami kehidupan tidak selalu harus melulu langsung, melainkan bisa melalui kata-kata para penjelajah kehidupan. Untuk memuliakan kata-kata, seorang penyair dapat memulainya
dengan serius membaca karya-karya penyair lain dalam bentangan sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra dunia, bahkan sejarah sastra di Kendari dan sekitarnya.

***

Secara jujur harus dikatakan, sejauh terlihat dari sajak-sajak dalam buku ini, pergulatan para penyair selayaknya diintensifkan. Pada sejumlah sajak mereka tidak jarang masih terdapat kelemahan dasar komposisi yang mungkin disebabkan karena belum utuhnya pengalaman puitik, belum pekanya pada kata-kata, belum tajamnya mencipatakan ungkapan segar, atau belum terlatih mengontrol logika imajinasi yang membuat anasir sajak tidak saling mendukung makna atau kegelisahan penyairnya. Adakalanya pula hasrat untuk menyampaikan sesutu terlalu kuat sehingga baris/ bait sajak menjadi pengap oleh kata-kata abstrak.

Menulis sajak barangkali ibarat mendaki puncak. Pada awalnya kita berjalan di keriuhan banyak orang, berkawan kata-kata klise, lalu memasuki kampung-kampung sunyi, pematang-pematang lengang, lembah yang membuat hati gelisah, rumpun-rumpun rimbun di mana hanya ada satu dua orang melintas, menaiki tebing terjal atau licin, berkenalan dengan akar dan juntaian pohon-pohon besar, gelap dan dingin, matahari tak terlihat, bulan entah di mana, hingga akhirnya sampai di puncak setelah pori-pori tubuh meneteskan jutaan keringat.

Atau seperti menuju samudera dengan gelombang tak terkira. Pada mulanya kita bertamasya saja di bibir pantai, berenang di tepian, agak ke tengah dan mulai merasakan gelombang di permukaan dan kedalaman, terus berenang ke tengah hingga akhirnya menyatu dengan samudera di mana segala jenis karang, gelombang, ikan, topan, dan badai lautan menjadi bagian diri dan kehidupan.
Baik dalam mendaki puncak maupun menembus samudera, perkara latihan tentu penting. Akan tetapi keberanian memasuki pahit-getir kehidupan dan kejujuran mengungkapkan kepada orang lain tidak kalah pentingnya. Mungkin kita tidak menjadi apa-apa, tidak menjadi pahlawan atau pujaan, tidak diberi hadiah seperti para pendaki gunung atau peloncat indah dan perenang dalam perlombaan. Akan tetapi kita telah berdialog dengan mereka, dengan yang menjangkau samudera di atas kapal atau melihat puncak dari helikopter: meyakinkan mereka bahwa kata, suara lain yang aneh dan ganjil itu, bisa “sekuasa” benda-benda. Itulah kira-kira negoisasi budaya.

Selamat berulang tahun Teater Sendiri. Karena engkau telah “bernegoisasi” dengan berbagai suara, termasuk suara dominan, di Kendari, percayalah diri engkau tidak akan pernah sendiri. ***

Cipocok-Serang, 15 Agustus 2006
Pukul 01.16 WIB


Wan Anwar, penyair dan esais. Bekerja sebagai editor di majalah sastra Horison dan sebagai dosen di FKIP Untirta Banten. Bukunya yang sudah terbit: Sebelum Senja Selesai (2002), Sepasang Maut (2004), dan Kuntowijoyo dan Dunianya (2006). Tinggal di Cipocok-Serang, Banten.

Catatan:
Biodata di atas adalah tulisan Kang Anwar sendiri.