Di lorong ini kita saling berbagi, berjabat tangan, dan berjabat keindahan. Dan aku akan selalu jatuh Cinta! (Foto: Muh. Yudi Ananto, Gorontalo, Juni 2010)
Ita Windasari
istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.
Masangin Syaifuddin Gani
kau ingin mencoba peruntunganmu sekali lagi:
melewati gerbang yang membuka dirinya
untuk semua yang datang.
tak pernah tersesat kau sesungguhnya
ada aku yang mengasihimu, lebih dari
sekedar ingatan-ingatan kecil dan gerutuan
bertahun lampau. semua kekal di sini,
lekat di antara yang berdatangan
turis-turis dengan alkohol di tangan
membuatmu cemas dan melihatnya
semata ancaman yang akan membunuh kita semua
di depan beringin itu, kukira kita akan kekal
sebagaimana malioboro yang mengabadikan peristiwa
membuat semua orang ingin ke sana
tentu juga kau
--ah tidak ada lagi yang tersisa sebagai kenangan
kita kehilangan apa pun sebagai tempat pulang.
di tempat-tempat begini, tempat orang-orang datang
dan pergi. apalah kita. sekumpulan
orang-orang panik yang tunduk
pada gerbang yang membuka dirinya. tempat kau mencoba
memasukinya dan berkali tersesat arah
Selaku juri tunggal Anugerah Puisi CSH 2009, pada hari ini, Kamis, 29 Juli 2010, dengan senang hati saya mengumumkan buku kumpulan puisi Memento karya penyair Arif Bagus Prasetyo sebagai pemenang Anugerah Puisi CSH 2009 dan berhak atas hadiah uang tunai sebesar Rp 7.000.000. Keputusan penetapan Memento karya Arif Bagus Prasetyo sebagai pemenang Anugerah Puisi CSH 2009 adalah bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Pemilihan buku kumpulan puisi Memento sebagai buku kumpulan puisi Indonesia terbaik 2009 (versi Anugerah Puisi CSH) dan ditetapkan sebagai pemenang Anugerah Puisi CSH 2009 dilakukan setelah melalui proses pembacaan yang teliti dan berulang-ulang selama lebih kurang tiga bulan, terhitung sejak penetapan short-list (lima besar) buku kumpulan puisi Anugerah Puisi CSH 2009 diumumkan.
Puisi-puisi Arif Bagus Prasetyo dalam Memento memperlihatkan rangkaian perjalanan panjang penyairnya dalam upaya mencari dan menemukan rekonstruksi bahasa yang subjektif, spirit of newness, keutuhan, kekuatan, dan kedalaman estetika puitik dan pada saat yang sama dengan tanpa gentar melakukan pergulatan dan pertempuran terus menerus dari segi bentuk dan tematik. Memento adalah pencapaian tertinggi Arief Bagus Prasetyo dalam ranah puisi.
Sebagian besar puisi-puisi dalam Memento, jika tidak dapat dikatakan seluruhnya, merupakan manifesto yang tegas dan terbuka untuk menolak memperlakukan puisi sebagai kerja pertukangan atau semata-mata bakat alam. Memento dengan lapang menerima khasanah kearifan lokal sebagai sumber mental tetapi pada saat yang sama juga dengan lapang menjangkau khasanah kearifan puitik dari wilayah-wilayah lain dan menjadikannya sebagai sumber mental yang sama pentingnya.
Sebagai pribadi dan juri tunggal Anugerah Puisi CSH 2009 saya mengucapkan selamat kepada Arif Bagus Prasetyo atas terpilihnya Memento sebagai pemenang Anugerah Puisi CSH 2009.
Saya juga mengucapkan selamat kepada para penyair yang buku kumpulan puisinya terpilih masuk ke dalam short-list (lima besar) maupun long-list Anugerah Puisi CSH 2009.
Cimahi, 29 Juli 2010
Cecep Syamsul Hari
Short-list Anugerah Puisi CSH 2009
Berikut adalah lima buku puisi yang terpilih sebagai lima besar Anugerah Puisi CSH 2009. Disusun secara alfabetis:
Akar Berpilin karya Gus tf. Penerbit Gramedia, Jakarta, Juni 2009.
Lagu Cinta Para Pendosa karya Zaim Rofiqi. Penerbit Alvabet, Tangerang, Mei 2009.
Memento karya Arif Bagus Prasetyo. Penerbit Arti Foundation, Denpasar, April 2009.
Puan Kecubung karya Jimmy Maruli Alfian. Penerbit Kata Kita, Depok, Februari 2009.
Telimpuh karya Hasan Aspahani. Penerbit Koekoesan, Depok, Juni 2009.
Satu buku puisi akan dipilih sebagai pemenang Anugerah Puisi CSH 2009 dan akan diumumkan pada awal Juni 2010.
Cimahi, 27 April 2010
Cecep Syamsul Hari
Long-list Anugerah Puisi CSH 2009
Berikut adalah judul-judul buku puisi yang memenuhi persyaratan untuk diikutkan dalam penilaian/penjurian Anugerah Puisi CSH 2009. Disusun secara alfabetis:
Akar Berpilin. Gus tf. Gramedia, Jakarta, Juni 2009.
Bumi Gora. M. Hasan Sanjuri. Sanggar Sastra Al-Amien, Sumenep, Desember 2009.
Cinta yang Marah. M. Aan Mansyur. Bejana, Bandung, April 2009.
Kampung Ular. Rahmat Heldy HS. Lumbung Banten, Serang, Januari 2009.
Lagu Cinta Para Pendosa. Zaim Rofiqi. Alvabet, Tangerang, Mei 2009.
Lilin-lilin Melawan Angin. Slamet Riyadi Sabrawi. LP3Y, Yogyakarta, September 2009.
Memento. Arif Bagus Prasetyo. Arti Foundation, Denpasar, April 2009.
Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa. Wendoko. Banana, Jakarta, Juni 2009.
Peneguk Sunyi. Soni Farid Maulana. Kiblat, Bandung, April 2009.
Penyair Bodoh.Dea Anugrah. Greentea, Jakarta, Desember 2009.
Pewaris Tunggal Istana Pasir. M. Nahdiansyah Abdi. Tahura Media, Banjarmasin, Desember 2009.
Picnic. Karno Kartadibrata. Kiblat, Bandung, Januari 2009.
Puan Kecubung. Jimmy Maruli Alfian. Kata Kita, Depok, Februari 2009.
Surat Terakhir. Kamil Ibnu Masduki. FBSI, Sumenep, Agustus 2009.
Telimpuh. Hasan Aspahani. Koekoesan, Depok, Juni 2009.
Proses penilaian/penjurian akan dilakukan mulai 3 Februari s.d. 26 April 2010 untuk memilih lima finalis. Lima buku puisi yang terpilih masuk ke dalam lima besar (finalis) akan diumumkan pada 27 April 2010.
Saya masih di kantor sekitar pukul 12.30 Wita, Rabu, 20 April 2010, ketika kakak saya menelpon bahwa ibu saya terbaring sakit di Polewali, Sulawesi Barat. Seketika saja saya menelepon ke sana untuk menanyakan kabar ibu. Kabar yang saya terima bahwa seusai salat zuhur ibu saya tiba-tiba terlihat kaku. Ia diangkat ke ranjang karena tak mampu lagi berjalan. Ipar saya segera menghubungi tetangga untuk datang menjenguk dan memberi pertolongan. Ibu masih sangat sadar dan mengatakan pada Mama Kiki (menantu ibu) bahwa tidak usah memanggil tetangga, saya baik-baik saja. Akan tetapi, Mama Kiki tetap memanggil tetangga dan juga menelepon kami anak-anaknya yang jauh. Ibu bertanya lagi, siapa yang engkau telepon Mama Kiki. Mama Kiki menjawab bahwa ia mengbungi anak-anak Ibu di berbagai tempat agar mereka tahu dan segera datang. Mendengar jawaban Mama Kiki, seketika saja Ibu menangis tersedu-sedu. Mungkin Ibu merasakan ”sesuatu” di dalam dirinya. Mendengar nama anak-anaknya disebut, ia merelakan air matanya mengalir. Ketika saya datang di Polewali dua hari setelah kejadian itu dan mendengar cerita itu, saya pun tak kuasa menahan air mata. Ibu...
2
Januari 2010, atau empat bulan sebelum Ibu sakit sekarang, ia pernah diopname dan transpusi darah di RSU Polewali. Lambungnya terluka dan mengeluarkan banyak darah hingga HB-nya tinggal delapan saja. Saya ingat persis, saat itu, jauh dari Kendari, saya menelepon Ibu tercintaku yang terbaring di bangsal rumah sakit. Saya menyapanya dengan penuh rindu dan ia menjawabnya sepenuh cinta. Saya mencoba menguatkannya dan mohon maaf karena tidak sempat datang. Ibu pun berkata bahwa yang penting engkau anakku tetap mendoakanku. Dan bahwasanya, yang penting kita tetap sehat dan selalu saling merindukan. Pada saat setelah keluar dari rumah sakit itulah, tiba-tiba Ibu kerap terserang tekanan darah tinggi.
3
Di Kendari, kami bertiga anak-anaknya, Burhanuddin Gani, Bayanuddin Gani, dan saya Syaifuddin Gani, segera berkumpul dan membicarakan rencana keberangkatan ke Polewali. Pada saat itu, ibu tercinta sudah terbaring di bangsal RS Polewali. Apakah engkau merindukan kami, ibu. Kami semua mencintaimu. Kuingat lagi ketika saya berusia sepeluhan tahun, kita berdua mendaki lereng-lereng bukit lalu menuruni lembah menuju ladang di Salupongkak. Saya masih kanak-kanak saat itu dan sangat menakuti ular, monyet, dan babi hutan. Tetapi engkau menenangkanku dan mengatakan bahwa binatang itu lebih takut pada manusia. Kita memetik jamur di batang pohon yang terbaring. Juga langsung terngiang saat kita tinggal di perladangan Salumato dan ketika saya harus pergi sekolah, ibu selalu menemaniku menuruni lembah dan berteriak dari atas untuk mengusir rasa takutku akan ular, babi, dan pada sunyi hutan-hutan. Oh bunda, Ibu segala Cinta, kini engkau di gerbang kehidupan berikutnya. Seketika aku ingin segera mendekapmu mencium tanganmu, dan menyisir rambut putihmu.
4
Kami sepakat, kakak kami Burhanuddin Gani berangkat hari Kamis, 22 April 2010 melalui Bandara Haluoleo Kendari menuju Bandara Hasanuddin Makassar. Saya dan Bayanuddin Gani berangkat esok harinya. Saya sedih, karena akan berangkat tanpa harus menyertakan istri dan anak saya yang berusia 14 bulan. Kakak saya membawa anaknya yang berusia sembilan bulan dan kami akan menunggu istrinya di Makassar tiba dari Balikpapan. Anaknya belum sempat melihat wajah neneknya, maka ia selalu berdoa semoga Tuhan masih mempertemukan antara nenek dan sang cucu. Bukankah sebagai ayah ia akan gembira jika anaknya sempat memeluk wajah ibu sang ayah? Saya pun juga ingin mempertemukan anak saya dan neneknya, siapa tahu inilah momen yang paling mengharukan. Anak saya masih sempat digendong neneknya saat berusia empat bulan. Itu terjadi ketika saya pulang menjemput istri di Pelabuhan Pare-Pare, dari Tarakan, Kaltim. Kepada Tuhan, jua kami berserah diri.
5
Pukul 23.00 malam, telepon genggam saya bergetar. Nama Burhanuddin Gani muncul. Saya mengangkat dengan hati bergetar. Saya sudah tiba dan di ruang ICU RSU Polewali sekarang. Ibu sudah tidak sadar. Saya tidak lagi bisa berkomunikasi langsung. Akan tetapi, ketika saya menjabat tangannya yang dingin dan berbisik di telinganya bahwa saya anakmu, Papa Rian dari Kendari, Indo, tangan Papa Rian dieratkan oleh tangan Ibu. Ibu masih bisa merespon seperti itu saja, begitu Papa Rian memberitahukannya kepada saya. Ia masih menegaskan agar kami berangkat besok tanpa harus menundanya. Rupanya, Ibu sudah dipindahkan dari ruang bangsal ke ruang ICU. Tuhan lindungilah Ibuku. Ampunilah dosanya. Jadikanlah ia sebagai ibu yang engkau beri pentunjuk dunia dan akhirat. Ia melahirkan dan membesarkan kami kedelapan anak-anaknya. Saya anak terakhir, Tuhan. Balaslah kesetiaan dan kesejatian Ibu dengan delapan Surga.
6
Maka, Jumat pagi, 23 April 2010, pukul 07.15 Wita kami meninggalkan Kendari. Penerbangan Kendari—Makassar sekitar 40 menit saja dan beberapa jam singgah di rumah Kakak Akma (Mama Tifa). Tiba di Makassar sekitar pukul 08.00 dan baru berangkat ke Polewali pukul 15.00 usai menunggu istri Baya tiba. Lama perjalanan menuju Polewali sekitar enam jam. Di perjalanan, tak henti-hentinya kami menghubungi saudara dan kerabat yang setia menunggu di ICU. Saya sempat berbicara dengan Bapak yang bersuara sendu. Katanya, doakanlah selalu Indomu agar dipulihkan dan diberkati Allah. Pukul 22.30 mobil yang kami carter segera memasuki kawasan rumah sakit. Hatiku bergetar. Allahu Akbar senantiasa terucap dalam dadaku. Subhanallah alhamdulillah astagfirullah walailaha illallah allahu akbar, terus keluar dari mulut batinku. Saya dan Baya berjalan cepat memasuki koridor rumah sakit yang hening, dingin, dan fana. Di depan pintu ICU duduklah tiga kakak saya dan kerabat lainnya, yang menyambut kedatangan kami dengan wajah yang dapat diterka. Kami langsung masuk ruang ICU. Di samping kanan bangsal, ada kakak saya yang lain, Salahuddin Gani, sedang membaca Surah Yasin. Di samping kiri, duduk Nazaruddin Gani, kakak yang lain lagi, bersama beberapa keluarga.
7
Astagfirullahal adzim, di atas bangsal terbaring ibu dengan tak tak berdaya. Tangis kakak saya pun pecah. Ia tak sanggup menahan air mata dan suaranya. Diciumnya kaki indo sambil mengeluarkan kata-kata maaf. Dia juga mencium kening indo yang berkeringat. Saya masih mencoba menahan diri untuk tidak langsung menangis dan bersuara. Saya langsung mencium kening indoku yang selama 71 tahun mengasuh kami dengan kesetiaan dan keikhlasan. Masih teringiang di memoriku sekitar tahun 1995 ketika saya pulang sekolah SD, di rumah telah siap nasi di piring, ikan kering, dan sayur bening yang ia suguhkan untukku. Juga terngiang lagi ketika ibu dan kami anak-anaknya menumbuk padi di lesung sambil bergurau. Dengan satu lesung, kami bisa langsung menumbuk padi sebanyak empat sampai enam orang. Masih teringat dengan jelas, bulan Mei 2008, Ibu masih ceria dan sehat bugar mendampingiku di persandingan di Tarakan, Kaltim. Oh ibu, tanggal 18 Mei 2008 pagi, saya masih mencium tanganmu bersama Ambo dalam acara ijab-kabul, untuk minta restu dan doamu atas pernikahanku dengan Ita Windasari, menantumu. Tapi kini ia tak berdaya di bawah kekuasaan Sang Pencipta.
8
Ada tabung 02 dan sebuah pipa melekat di hidung ibu. Nafasnya yang terdengar, turun naik. Sebuah layar monitor yang menampilkan angka-angka tentang kondisi jantung, udara di paru-paru, denyut nadi, dan tekanan darah membuat jantungku semakin berdebar. Saya dan Baya bergantian membisiki telinga Ibu mengenai kedatangan kami. Baya mengatakan, ”Indo saya sudah datang bawakan cucumu, Naswa”. Tentunya ibu hanya menjawab dengan suara nafas yang turun-naik. Baya memiliki kesedihan tersendiri karena anaknya, Naswa, belum sempat dilihat atau digendong secara langsung oleh ibu. Kesedihan itu juga semakin dalam karena rencananya, gaji pertama Baya akan dihadiahkan kepada ibu kami itu. Manusia punya rencana, Tuhan punya rencana. Rencana Tuhanlah yang selalu menjadi kenyataan. Kadang rencana manusia dikabulkan Tuhan dan kadang juga belum atau tidak. Sebagai manusia, kita harus memetik hikmah dari setiap tanda-tanda Tuhan.
9
Saya membisiki telinganya kata-kata indah dan puji-pujian kepada Tuhan. Juga tak lupa memohon maaf kepadanya dan memaafkan salah-salahnya, jik ada pada saya dan kami. Melihat situasi yang mengharukan itu, seketika saudara kami dan kerabat yang ada di sekitar bangsal, tak dapat menahan tangisnya. Air mataku pun menyaksikan keadaan ibu yang paling kusayangi itu. Malam itu, kupenuhi dengan doa-doa dan bacaan Surah Yasin untuk ibuku. Menjelang subuh, saya bertanya kepada perawat tentang keaadan Ibu. Seperti apakah keadaannya sekarang? Apakah masih...? Ia menjawab, Ibumu terserang stroke. Kemungkinan besar pembuluh darah di otak pecah. Pengalaman kami di sini, biasanya keadaan pasien seperti ini tinggal menunggu ”waktu” saja. Selain itu, kita juga selalu mengharap petunjuk Tuhan, jawabnya. Saya terhenyak mendengar jawabannya, meski saya telah menduga jawaban itu. Ia melanjutkan, tapi Ibumu masih akan bertahan paling tidak besok pagi. Terakhir saya bersua dengan Ibu, sepuluh bulan silam. Ia masih menyambutku dengan ramah. Kucium tangan dan pipinya yang keriput, lalu lalu kurangkul badannya penuh cinta.
10
Beginilah kronologis peristiwa yang menimpa Ibu. Rabu pagi, 20 April 2010, ia masih sehat bugar. Ia naik becak menuju rumah keluarga, sekitar 200 meter dari rumah Papa Kiki, rumah anaknya yang sering ia tempati jika pulang dari kampung. Di sana, ia melihat kebun ubi yang ranum dan rindang. Mungkin, tiba-tiba ia mengingat kebunnya di kampung dan halaman rumah Papa Kiki yang berumput. Setelah mengobrol dengan keluarga itu, ia pun pamit pulang. Sesampai di rumah Papa Kiki, ia segera mengambil sodo dan membersihkan rumput di halaman rumah. Papa Wana, ponakan ibu, masih sempat singgah menyapa ibu saat pulang ke Mambi mengendarai motor. Ibu sempat berpesan agar ia menyampaikan salam kepada saudaranya (Ibunya Papa Wana) yang sudah lama terbaring sakit di rumah, persisnya di Kampung Salubulung). Kata ibu, ia akan segera menyusul ke Salubulung, karena akan beres-beres menjelang Ramadan Agustus ini di kampung kelahiran kami itu.
11
Sambil membersihkan rumput terdengar juga suara azan dari masjid. Ibu lalu berhenti dan segera mandi lantas menunaikan salat zuhur di rumah. Ibu sementara salat ketika bapak menuju pintu untuk salat di masjid. Usai salat, ibu bersandar di dinding kamar. Bapak pulang dari masjid dan Mama Kiki pulang dari pasar. Mama Kiki membuat teh lalu disuguhkan kepada ibu, bapak, beserta kue Gabin. Suasana ceria. Sesekali keluar kelakar dari bapak dan juga ibu. Tiba-tiba Mama Kiki melihat kue yang dimakan ibu, berjatuhan di bibirnya. Kue yang dimasukkan ke mulutnya tidak terkunyah. Mama Kiki menegur, apakah ibu sengaja melakukan itu. Bapak pun berkata, bahwa jika sudah tidak bisa masuk, jangan dipaksakan, dengan nada bergurau. Tapi dengan suara terbata-bata ibu berkata bahwa ia sama sekali tidak sengaja melakukannya. Suasana jadi panik.Mama Kiki memanggil tetangga yang juga masih ponakan-ponakan ibu. Ibu masih sempat bicara, tidak usah memanggil orang, saya tidak apa-apa. Datanglah Papa Aco dan beberapa anak-anak usia SMA lalu bersma-sama mengangkat ibu ke ranjang. Ibu tak lagi kuat berjalan.
12
Papa momen itulah, telepon genggamku berdering. Saya dihubungi Papa Rian, kakak saya di Kendari, yang mengabarkan bahwa Indo terbujur sakit. Saya disuruh untuk menelpon ke sana. Saya menelepon Mama Kiki dan ia menjawab bahwa ibu sementara dibaringkan di ranjang yang selalu ia tempati bersama suaminya tercinta. Bapak kami. Kata Mama Kiki mungkin ibu terseang stroke. Saya bilang apakah saya bisa bicara dengannya. Mama Kiki bilang, jangan dulu, karena sementara ia dirawat bidan, yang juga adalah ponakan ibu, Rokna. Ketika Mama Kiki sibuk menelepon kami anak-anak ibu, ibu sempat bertanya, siapa yang engkau telepon Mama Kiki, lalu Mama Kiki menjawab, saya menelepon anak-anakmu agar mereka tahu dan segera datang. Pada saat itulah naluri keibuannya segera lahir. Ibu saya menangis tersedu-sedu. Jika mengingat cerita itu lagi sekarang, saya selalu ditemani air mata yang mengalir ke pipi. Mungkin saat itu ibu berpikir bahwa anak-anaknya telah tahu ia sakit dan anak-anaknya yang delapan orang itu akan datang menjenguknya. Mungkin ibu juga telah mendapat tanda-tanda dari Langit bahwa waktunya tidak lama lagi akan segera tiba. Oh Indo, semoga di alam kubur sekarang ini, engkau sementara bermain di Taman Surga.
13
Sabtu pagi, 24 April 2010. Kami semua keluar dari kamar ICU. Para perawat di ruang itu akan membersihkan para pasiennya. Kami telah membelikan sabun dan bedak untuk ibu. (Bedak itu kini kusimpan di lemari rumahku). Kami juga telah menyiapkan beberapa lembar sarung untuk ibu. Saya kagum dengan para perawat itu yang rela dan ikhlas mencuci, memandikan, dan membersihkan pasien yang tidak ada sangkut paut keluarga dengannya. Semoga mereka diampuni Allah dan disediakan berlembah-lembah pahala. Usai dimandikan, ibu tampak lebih segar dan harum. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda ia akan segera pulih lagi. Saat menjelang siang, ketegangan muncul. Angka-angka di monitor secara perlahan mulai turun. Ia bagai air mengalir ke kerendahan. Kami kembali melafazkan kalimah ”lailaha illah”. Keluarga besar ibu segera melingkari bangsal. Doa-doa dirafal ke udara. Papa Irma, yang juga menantu Indo segera menjemput saudara Indo untuk datang. Saudara Indo yang kami panggil Puak segera datang lalu menyentuh bahu Indo dan mengatakan, Indona Hasa, saya datang. Indona Hasa adalah panggilan akrab untuk ibu saya karena kakak tertua kami bernama Hasanuddin. Tidak ada juga respon. Para perawat juga terlihat tegang. Mereka malah memindahkan posisi monitor ke arah mereka agar tahu perkembangan perjalanan pulang ibu saya. Melihat ketegangan perawat, saya segera sadar, tidak lami lagi Indo tercinta mungkin akan segera meninggalkan kami, menuju Sang Khaliq.
14
Akan tetapi, angla-angka itu bertahan pada sekitar angka 90-an.Artinya, suhu udara, denyut jantung, tekanan darah ibu belum berada pada titik nadir. Keluarga dan handai taulan silih berganti datang menjenguk dan membacakan doa-doa untuk ibu.Bapak di samping kanan itu dan membaca doa. Saya dan saudara-saudaraku tak henti juga berdoa dan membaca Al quran.
15
Dan kekuasaan Allah atas hamba-Nya kembali berbicara. Sejak awal malam tanggal 24 April 2010 itu, angka-angka di layar monitor kembali bagai air turun perlahan-lahan. Kalimah lailaha illallah di ruang ICU kembali bergema. Sepupu atau keluarga perempuan saya yang semuanya mengenakan kerudung besar, turut menyumbangkan lafaz itu di depan tubuh ibu yang terbaring. Angka-angka di layar monitor itu tidak sekadar berubah tetapi juga mengeluarkan suara tik tik tik. Saya menghaturkan ucapan terima kasih kepada keluarga besar kami yang setia menemami ibu selama di Rumah Sakit Umum Polewali. Pahala jualah balasannya.
16
Dan inilah momen spritual yang paling menggetarkan. Sekitar jam sebelas malam, mata ibu yang selama ini tertutup, tiba-tiba secara perlahan terbuka. Lalu dengan saksama ia mengamati kami ke kanan dan ke kiri bangsal. Papa Ceng, salah seorang keluarga yang hadir berkata, ”Aulek aklaaa napemmannasai koak i, anak-anakna” (Ia mengamati dan memperjelas kepada kalian, anak-anaknya). Di dalam hatiku, saya terus berdoa, ibu jika memang engkau akan pergi, telah kuikhlaskan. Dan semua anak-anakmu dan juga Bapak telah mengikhlaskanmu pergi menghadap Ilahi Rabbi. Mungkin sekitar lima belas menit mata ibu terbuka, sebagai pertanda ia pamit kepada kami. Lailaha Ilallah, Lailaha Ilallah, Lailaha Ilallah bergema tiada henti.
17
Sekitar jam sebelas lewat empat puluh lima menit, ibu kami tercinta menghadap Ilahi Rabbi. Innalilahi wa Innailaihi rojiun.
18
Ya Allah Ampunilah dosa-dosa ibuku. Terimalah amal salehnya. Kami telah mengikhlaskan ia menghadap-Mu. Jadikanlah kuburnya sebagai Taman Surga. Terangilah kuburnya dengan cahaya surga-Mu.
19
Di tengah rasa kehilangan dan kesedihan yang mendalam, kami anak-anaknya dan juga bapak, masih dapat merasakan tiga kebahagaiaan. Pertama, kepergian ibu disaksikan anak-anaknya dan juga bapak sendiri. Kedua, kepergian ibu tidak lepas dengan iringan kalimah lailaha illallah. Ketiga, sejak sakit tanggal 20 April 2010 itu, ibu senantiasa mendirikan sembahyang, sampai ia berada di ruang bangsal dan ketika ia dipindahkan ke ICU. Bahkan di batas antara sadar dan tidak sadar, ibu masih sempat salah baring yang dituntun salah seorang anaknya, Mama Azizah.
20
Usai pemakaman, Ahad, 25 April 2010, kami kembali membuka-buka foto-foto bersama ibu dulu. Ah, usia memang begitu singkat untuk kebersamaan ibu, tetapi panjang untuk pengabdian sebagai hamba Allah. Kami lalu membuka sebuah kotak aluminium ibu yang tua tempat ia menyimpan anting emasnya yang sudah berusia puluhan tahun. Di antara anting ibu yang khas bentuknya itu, terdapat sebuah liontin Martapura. Saya jadi ingat saat masih mahasiswa, tahun 2000 silam ketika saya ikut rombongan Teater Sendiri pentas teater di Taman Budaya Banjarmasin, kami singgah di Martapura dan membelikan ibu sebuah gelang dan liontin Martapura. Air mataku tak kuasa tertahan. Kurelakan ia menetes ke pipiku, bersama kerelaanku atas kepergian ibu. Damailah di Surga. Ibu...
Saya pernah menjanjikan kepada seorang tukang yang sedang mengerjakan rumah saya di sebuah BTN baru di belakang sebuah BTN lama, untuk membelikannya sebungkus rokok.
“Kita suka rokok apa, Pak”, tanya saya.
“Sembarang saja, saya isapji semua”, katanya.
Mata saya langsung tersenyum karena jawabannya mengingatkan saya pada dua orang teman saya yang juga biasa mengisap sembarang merk rokok. Tapi dengan catatan, jika kepepet.
Suatu hari, saya berkunjung ke rumah saya yang sementara dipasang tehelnya itu. Dia menyambut saya dengan mata bercahaya. Pasti tahu maksudnya, kan. Dia menunggu saya memberikan dia rokok. Tapi benar-benar saya khilaf. Saya lupa membelikannya sebuah rokok.
Minggu berikutnya saya datang lagi, dan matanya bercahaya lagi. Ia sudah memasang atap seng di rumah saya. Sekali lagi, saya sudah tahu maksud kilatan cahaya matanya. Mana rokoku bos! Mana janjimu bos! Mungkin itu kata hatinya.
Akan tetapi hari itu, saya benar-benar tidak memiliki uang yang cukup untuk membelikannya rokok.
Saya merasa bersalah dan ingkar janji. Begitu pula ketika saya datang ketiga kalinya. Rokok itu tetap saya lupa belikan. Dan kilatan cahaya matanya sudah muram. “Ah, saya tauji, pasti tidak ada lagi rokok kobawakan saya to”. Mungkin ia bilang begitu. Sa’ bosanmi menunggu!
Sebulan lamanya baru saya punya waktu mengunjungi rumah baru saya. Rumah saya sudah jadi. Dan si tukang kecil dan bertubuh kerdil itu sudah tidak ada. Jangan-kangan ia sudah pulang ke kampungnya. Dosa besar segera terbayang di kepala saya.
“Halo bos, rumahmu sudah selesaimi. Tinggal kita tinggali saja”.
Si tukang itu berteriak dari atas sebuah rumah yang sementara ia kerjakan lagi. Saya yakin, ia masih ingat janjimu taroe dari saya. Dan memang benar, lagi-lagi dan lagi-lagi saya lupa sang rokok.
Tiga minggu yang lalu, saya mengecek rumah itu untuk persiapan pindah. Tiba-tiba saya dikejutkan seseorang yang masuk ke dalam rumah sambil bicara:
“Saya kasian yang kerja ini rumah sampai selesai. Pokonya, saya pilihkan kita tehel yang ijo semua pak. Coba kita liat rumah lain, tehel kamar mandinya tidak sama warna, kata si tukang itu.
Inilah kesempatan memenuhi janji saya, batinku. Kucabutlah dompet lusuhku. Kutarik uang 20.000 rupiah. Lalu kusodorkan kepadanya.
“Wah terima kasih pak. Saya mau pergi beli obat kasian. Panas saya punya badan ini”.
Besoknya, kakak saya yang juga memiliki rumah di BTN baru di belakang BTN lama itu, bercerita bahwa kemarin ia ketemu dengan si tukang itu sementara minum bir did lam rumah yang sementara dikerjakannya.
Sambil teler ia bercerita.
“Itu adekmu kasian baik sekali. Tadi dia kasih saya uang 50.000 rupiah. Saya kasian yang kerja itu rumahnya”.
Mendengar kata 50.000 rupiah, saya langsung bilang, wah tidak benar itu, saya memberinya cuma 20.000.
Mungkinkah saya memang memberinya 50.000, tapi saya lupa?
Atau mungkin saya memberinya 20.000 lalu disulap oleh malaikat jadi 50.000?
Atau karena “mabo taya tante” sehingga ia lupa juga dan salah sebut?
Nah, tadi pagi ini, Jumat, 9 Juli 2010, saya kembali melihat dia sementara berdiri di atas dindung rumah sambil menerima ember berisi campuran semen dari sesame tukangnya, seorang perempuan yang menutup mukanya kaya’ ninja.
Membaca sajak penyair Syaifuddin Gani (SG) maka kita akan terbawa pada sebuah tempat. Rumah. Itu saja? Iya. Sederhana sekali. Sajak ini tak banyak bermain dalam wilayah makna seperti penyair lain. Prosais sekali jika sepintas membaca "Perjamuan Magrib" yang ditulis dua tahun lalu itu. Saya menyukai sajak ini karena sederhana.
1
istriku, azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku
kunikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih
merah di luar kamar bercengkrama di keningmu
matamu terbuka seumpama fajar terluka
bilal mengundang ke perjamuan magrib
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman
suamiku, bangunlah dari bebetan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut
temaram isya segera datang, satusatu bintang bertandang
di luar, jamaah melenggang ke taman sembahyang
sebelum iqamah datang
sebelum kiamat datang
2
sepasang suami istri membuka pagar
kakikakinya lariklarik puisi
hikmat dan nikmat ke terowongan magrib
jamaah bersorban berkerudung langit
mengerubung kiblat, lalu imam berkidung
oi, alangkah mawar allahu akbar
penawar jiwajiwa memar
rubuh dan rukuk dalam geluruh sembahyang
kendari, 12 agustus 2008
1/
Larik sajak ini sangat menarik perhatian. Ada beberapa diksi yang sering berulang diucapkan tapi pemaknaannya tak sama. Magrib. Saya memulainya dari kata "magrib" ini dulu sebagaimana penyair memulai dengan judul sajaknya. Mungkin dari situ kita temukan pemaknaan yang lebih jurus dan likat.
"istriku, azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
rambutmu yang magrib lelap di leherku"
Pada bait di atas akan kita temukan dua kata "magrib". Magrib pertama akan mudah ditebak karena pengertian denotatif sajak itu pun jelas. Azan Magrib adalah pintu awal memasuki sajak ini. Latar waktu pada magrib saat azan tiba. Lalu menyusul dua bulu (saya menggunakan kata biologik saja) biar lebih mudah pendefinisiannya. Personifikasi magrib pada larik berikutnya memukau. "rambutmu yang magrib lelap di leherku". Magrib bisa dikatakan hitam. Rambut hitammu itu (sudah) lelap di leherku sejak lama. Ini diperkuat dengan larik pertama, si "aku" memanggil seseorang itu dengan "istriku".
Setelah basmalah maka ada tiga ayat yang kita ucapkan dalam batubatu tasbih. Rambut telah menjadi buah yang ranum. Mungkin seperti rambutan Kendari yang sangat ranum. Rambut perempuan (istrinya) itu diandaikan buah yang ranum. Ia tiduri kekasihnya itu seperti tetap berzikir kepada Allah. Subhanallah. Lebih jauh sajak ini membuka cakrawala berpikir yang sangat menawan. Gaulilah istrimu sebagai ladang yang subur. Bukan main. Sajak ini memberikan mukaddimah langit dalam hubungan suami istri. Maka bahasa tuhan telah turun padanya sebelum sajak ini hadir secara lengkap.
"Merah di luar kamar itu bercengkrama dengan keningmu". Bukankah ini gambaran senja? Magrib dianggap sebagai waktu yang paling romantis mengalahkan waktu-waktu yang lain. Bisa jadi penyair memilih magrib karena ia menyukai senja, menyukai warna-warna cakrawala yang menguatkan daya pukau cintanya pada istri. Atau magrib menandakan waktu ia kembali bersama istri setelah bekerja di luar rumah. Bisa jadi. Bisa juga magrib adalah waktu singkat sebagaimana waktu subuh. Ia yang takwa tak ingin lepas begitu saja. Seperti sesorang yang menunggu film kegemarannya di bioskop. Magrib menembus dimensi makna dan rupa bahasa. Anda boleh mencari lebih jauh pemaknaan itu. Masih terbuka kemungkinan ada pemaknaan lain dari magrib. Sampai di situ penyair belum berhenti memuji istrinya itu.
Lalu "matamu terbuka seumpama fajar terluka". Ada kontradiksi di sini tetapi justru menjadi lebih indah. Kontradiksi yang tepat. "Luka" pada umumnya sesuatu yang sakit tapi "fajar terluka" di sini adalah terbuka. Sebuah metafor yang indah membawa kita pada ruang makna yang dalam. Magrib pun bisa terluka ketika matamu terbuka duhai istriku. Ya Allah, ini yang paling sulit dilakukan suami-istri: salat berjamaah. Penyair menggambarkan berjamaah itu sangat cantik di larik ini.
Kegairahan itu ternyata tak berhenti dengan pukau sang suami (aku) karena istri pun memiliki cara ucap yang berbeda tetapi rasa cinta yang sama.
"suamiku, bangunlah dari bebetan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia yang tak lekang mengirim hubbu
matamu berkabut surau menyambut"
Istri yang baik adalah istri yang membangunkan suaminya salat jika waktunya telah tiba. Sajak ini bukan hanya bermakna sederhana seperti itu. Tapi ia lebih jauh menjangkau pemaknaan yang lain. Bangun tak sekadar lepas dari lelap/tidur tetapi dari riang yang mungkin saja dilipakan si "aku" itu.
SG sangat piawai mengajak romantisasi terjadi di rumah sendiri bahkan dalam jelang salat pun ia cerdas mengolahnya menjadi bahasa yang indah.
Saya hanya tak menemukan pengertian lain dari kata "bilal" dalam sajak ini. Ia tetap bilal tak seperti magrib yang benar-benar magrib dan sesuatu yang lain, mungkin bermakna rambut yang hitam seperti di awal esai ini kutuliskan. Selebihnya, kita patut bersyukur masih diingatkan dengan manis cara menemui kekasih ranjang dan kekasih sajadah secara bersamaan dengan cara yang paling romantis. Di luar itu, kita patut mengikuti jejaknya, bermain bahasa sang penyair ini tak pernah redup. Sepertinya ia selalu hadir di tempat yang tidak terduga. SG adalah penyair paling produktif di Sulawesi Tenggara. Pun kita tetap berharap akan hadir sajak-sajak lain yang lebih jauh pemaknaannya melebihi yang pernah ia tulis sebelumnya.
Salut penyairku. Aku ingin hadir di perjamuanmu! Mengajariku bercinta dengan tuhan sambil bercinta dengan kekasih yang lain setelah magrib selesai. Bukankah kita bisa bermain lebih lama di waktu Isya?