Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Selasa, 22 Juni 2010

Tiga Puisi Irianto Ibrahim Di Horison Juni 2010


Peminang Sepi
kepada La Ode Gusman Nasiru

pagi begini yang dulu kau beri padaku
: gumpal awan dan mata fajar yang tak sempat jadi gerimis.
sepi yang kau susui dan kenangan
yang membunting di benakmu,
seperti biasa, hanya membuatmu tersipu.
tak bisa menundukanmu barang sejenak,
dari gambar rupa seorang ayah
dari aroma coklat keriput jari-jari ibu.

kau meminang sepi dan membaca gerak sunyi dari
lagu ombak dan percakapan cuaca.
tapi ngilu pada matamu tak pernah benar-benar sendiri.
bahkan untuk samar warna senja atau riang lengkung pelangi
enggan kau beri.

pagi begini yang dulu kau beri padaku.
menimbang usia embun dan menakar rindu-rindumu
gerimis pada matamu, serupa desis lafaz tahlil usai duha
kau resmi jadi mempelai setelah sepi benar-benar dewasa
setelah fajar menasbihkanmu jadi penyendiri

Kendari, 2009



Mungkin Akan Selalu Begini

Sejak kartu pos dan prangko bergambar kota-kota megah tak terpakai lagi, aku tak punya alasan untuk mengirim surat kepadamu. Padahal aku ingin sarapan goreng telur bebek dan sepiring nasi putih yang kau hidangkan dengan senyum tipismu. Senyum yang selalu lebih manis dari kopiku. Tapi waktu telah membawamu pergi, dan koran-koran yang terbaca olehku tak memuat namamu.

Kendari, 2009

Sekantung Luka dari Seorang Ibu

supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:
dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang dikemudian hari akan ia larung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefenisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka, ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

Kendari, 14 September 2009

 

Tidak ada komentar: