Angin Magrib Pasar Kembang
untuk koto dan thendra
angin magrib mengeleparkan bau hitam
mengantar kami ke lembah ilham
yang bernyanyi dan berapi
di lorong-lorong fana, dewa dewi
laron-laron putih dan kumbang-kumbang abu
membakar udara dan menandaskan diri dalam pesta
rambut cemeti membetot betis itali
ditangisi badan jalan papa
badan dan gairah terebus rayu, kaca dan kata beradu
pecah, melukai punggung malam
aduh
sebuah lecutan membabat jantung
irisan senar mengelana di daging tulang
tubuh kami ranggas sepanjang api
terkapar mendidih dalam lumpur matahari
angin magrib pasar kembang
menggeletar ke jasad malioboro
musim haru makin panjang
menggelepar sampai ke solo
rambut kami dirambati kabut begadang
lalu sekuntum mawar berbau pepsi menggoda, hallo
kami meramal langit yogya yang abu
terharu diberondong mata biru
di tengkuk trotoar, terbenam jejak seorang sufi
terbentur di dinding puisi, dibopong dewata bali
kami berzikir di pasar samar
berdoa di antara botol magrib dan tarian isa
adakah gugur hujan badar
kami berkendara keranda
melaju ke pemakaman sleman
angin magrib jatuh
tersedu di pintu subuh
selamat pagi
Yogyakarta-Kendari, 2009
Pada Ribuan Bandar
dari teluk mandar
aku labuhkan ribuan jangkar pada ribuan bandar
aku terkapar dan tersadar, gigir dan terbakar
dalam pembakaran asar
aku lafazkan salawat badar, merangsek dari fajar ke fajar
cinta tak kuasa ditakar seperti menghitung alamat yang samar
sebelum aku mafhum, takdir dan takbir
bergeluruh dipeluk banjar
Tarakan-Kendari, 23 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar