TEMPO Interaktif, Jakarta – Sastrawan Sapardi Djoko Damono genap tujuh puluh tahun. Sebuah acara musikalisasi puisi digelar digelar di Gedung Teater Salihara Pasar Minggu, Jakarta Selatan Jumat (26/3) lalu. Selama hampir dua jam, sejumlah seniman bergantian tampil di atas panggung. Mereka antara lain Happy Salma, Niniek L.karim, Sitok Srengenge, Jubing Kristianto, Umar Muslim, serta Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia.
Dalam sambutannya, sastrawan Goenawan Mohamad mengapresiasi karya-karya Sapardi Djoko Damono yang hingga saat ini masih dikenal masyarakat. Goenawan juga sedikit bercerita mengenai antusiasme masyarakat zaman dahulu yang begitu tinggi terhadap karya sastra. Setiap pembacaaan karya sastra selalu ramai dipenuhi oleh masyarakat yang ingin mendengarkan pembacaan sajak, puisi atau prosa dari para penyair terkemuka. “Dahulu orang datang untuk mendengarkan puisi seakan ingin mencari kebenaran,” ungkap Goenawan. “Kenangan itu seakan kembali kedalam ruang diteater salihara malam itu,” lanjutnya.
Suasana makin meriah ketika Happy Salma, Niniek L Karim dan Sitok Srengenge bersama-sama membawakan cerpen karya Sapardi yang berjudul Rumah-Rumah. Cerpen tersebut dibaca seakan mereka bertiga itu sedang berdialog. Kata-kata dan intonasinya terkadang membuat penonton tak tahan untuk bertepuk tangan.
Cerpen Rumah-Rumah secara garis besar bercerita tentang proses kelahiran sebuah rumah. Sapardi mencoba mengambarkan sebuah rumah yang dibangun oleh seseorang hingga selesai. Rumah itu dihuni oleh keluarga yang tidak harmonis. Ada rumah nomor 12 yang setelah selesai dibangun tak kunjung ada orang yang mau menghuninya. Juga ada rumah nomor 13 yang dianggap rumah hantu. Celoteh Rumah-rumah inilah yang kemudian membuat suasana perayaan 70 tahun sapardi Djoko Damono menjadi meriah.
Lain lagi dengan penampilan gitaris akustik Jubing Kristiano dan Umar Muslim yang membawakan tiga karya Sapardi, yaitu Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, Dalam Bis, dan Nocturno. Karya-karya tersebut diaransemen ke dalam bentuk lagu demikian apiknya sehingga membuat penonton yang hadir memenuhi ruang Teater Salihara pun ikut berdendang dalam petikan gitar akustik yang mereka bawakan.
Musikalisasi puisi menjadi puncak acara peringatan ulang tahun Sapardi. Sebelumnya, di tempat yang sama digelar Kuliah Umum tentang Puisi Sapardi Djoko Damono dengan pembicara Nirwan Dewanto. Dalam Makalah setebal 19 halaman, Nirwan menguraikan khasanah perpuisian Indonesia khususnya puisi karya Sapardi Djoko Damono. Dia mengatakan bahwa pada intinya puisi Indonesia tidak bergerak ke kiri maupun kekanan karena ia adalah sebuah lanskap yang dipandang pada momen tertentu. “Puisi Sapardi Djoko Damono adalah sebuah obyek di latar tengah di mana latar tengah itu yang manghubungkan antara latar depan dan latar belakang,” kata Nirwan.
Sapardi telah menghubungkan bentuk persajakan dengan kepribadian penyair dan dalam hal ini tidak berbeda dengan sejumlah pengamat lain, seperti Subagio Sastrowardoyo, yang mengatakan bahwa sajak adalah persaksian pengalaman penyair dan tugas kritik sastra adalah membangkitkan pribadi penyair yang terbayang di dalamnya.
Kuatrin-kuatrin sapardi Djoko Damono sepintas saja berbentuk empat seuntai, bentuk formalnya, termasuk rimanya yang tertib rapi, tidak kuasa menghalangi baris-barisnya untuk menyusul dan memanjang. Frase-frasenya saling memisah dan menyatu ganti-berganti. Ketidakteraturan dalam kerapian itulah yang menghasilkan minimalisme, pemadatan dan penyulingan imaji, yang mewadahi makna si penyair. “Bukan puisi murni, tapi puisi yang bersih, yang menyembunyikan si pengujar di bawah abstraksi benda-benda, atau puisi yang terjatuh kedalam pelukan simbolisme dan imajisme,” jelas Nirwan.
Menurut Nirwan, puisi Sapardi adalah puisi yang dapat dicintai dengan sederhana. Puisinya tidak menuntut dan isinya selalu membuka diri. “Mungkin kita bisa menggemari puisi Sapardi Djoko Damono dengan bersahaja, karena ia genap dalam hal gramatika dan semantiknya,” tutur Nirwan.
Ditemui seusai acara, Sapardi Djoko Damono mengaku sangat bahagia dengan perayaan ulang tahunnya kali ini yang menurutnya begitu spesial. “Ternyata karya saya masih diminati oleh masyarakat, bukan saja dari kalangan tua saja namun dari kalangan muda juga begitu tinggi minatnya,” katanya. Di usianya yang sudah sepuh itu Sapardi mengaku masih ingin tetap bermain-main sebab seni menurutnya sebuah permainan. “Seperti halnya puisi itu sebenarnya adalah permainan yakni bermain dengan kata-kata,” tuturnya.
Kepada para seniman Indonesia dia berpesan agar tetap kreatif walau usianya tidak muda lagi. Sapardi sendiri bertekad akan terus berkarya walau usianya sudah semakin senja “Saya akan tetap terus menulis apa pun bentuknya nanti,” kata Sapardi. Dia berharap karya-karyanya bisa bermanfaat bagi orang banyak. “Penyair bisa mati namun karyanya akan tetap abadi selamanya,” katanya. (Herry Fitriadi)
Sumber: Tempo Interaktif (Selasa, 30 Maret 2010)
Sumber gambar: tongkronganbudaya.wordpress.com
Di lorong ini kita saling berbagi, berjabat tangan, dan berjabat keindahan. Dan aku akan selalu jatuh Cinta! (Foto: Muh. Yudi Ananto, Gorontalo, Juni 2010)
Ita Windasari
istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar