Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Selasa, 09 Maret 2010

Mereguk Cinta di Negeri Butuni

Oleh Syaifuddin Gani

Menginjakkan kaki di Negeri Butuni selalu meninggalkan jejak yang bermakna. Negeri Butuni yang kumaksud di sini adalah Bau-bau. Secara administratif antara Buton dan Bau-bau memang berbeda, tetapi secara kultur memiliki kesamaan. Meskipun setelah pemekaran memisahkan keduanya, lahir pula “kebudayaan” yang berbeda. Bukankah setiap insan dan ruang memiliki lorong atau visi perbedaan yang merupakan keniscayaan? Kembali ke soal pengalaman saya.

Pertama kali menapaki Pelabuhan Murhum ketika KM. Kerinci mendarat di pinggul pantai, September 2005. Itu terjadi ketika saya pulang dari petualangan budaya dan rohani dari Surabaya, Solo, Yogyakarta, Banten, dan Jakarta. Kota-kota budaya itu saya jelajahi ketika pentas teater bersama Teater Sendiri. Momen itu pulalah yang mempertemukan saya dengan kalangan pencipta kebudayaan di Indonesia misalnya Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, Ratna Sarumpet, Agus R. Sarjono, Anto Baret, Rieke Diah Fitaloka, Yudi Ahmad Tajuddin, Gus Dur, maupun Budiman Sujatmiko. Pertemuan itu bisa berupa perbincangan mendalam, tatapan mata, jabat tangan, dan percumbuan hati. Persentuhan fisik, perbincangan, dan pertemuan mata disadari atau tidak memberikan pengaruh bagi proses kematangan seseorang.

Ah, mengapa tiba-tiba melenceng dari pembicaraan awal? Baiklah akan kuteruskan. Sampai di mana yah. Oh ia, ketika badan Kerinci merapat di pinggul pantai. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, saya menghikmati pemandangan lautan yang maha indah. Secara perlahan, matahari merekah dari rahim laut. Saya tak menyia-nyiakan sedetik pun. Ada warna oranye, kuning telur, bias emas, dan putih yang memancur ke atas udara.

Subhanallah. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aura matahari tidaklah panas dan ganas. Angin kesejukan melanglang dari matahari yang seperti bayi mungil itu. Detik demi detik berlalu. Matahari yang sekonyong-konyong lahir, ibarat telur yang keluar dari rahim ayam. Dan beberapa menit setelahnya, auranya semakin hangat, panas, dan menggerahkan. Di sini saya mereguk Cinta Sang Ilahi. Wah, di sana Negeri Butuni seperti negeri ajaib yang lahir di tebing bukit.

Teeeet….. teeeet…. teeeet. Saya pun meninggalkan geladak dan menuruni tangga. Di bawah, para buruh pelabuhan menawarkan jasa. Suasana laut yang keras dan asin menyongsong. Memasuki ranah Butuni sangat terasa aroma kesultanan. Ada patung Sultan Muhammad Yisa Kaimoeddin yang berdiri tegak. Patung ini adalah penanda utama bahwa Butuni adalah sebuah wilayah kerajaan/kesulatanan. Tidak seperti patung Lulo di Kendari Beach yang tak berkarakter, patung Sultan Murhum ini memiliki nilai artistika, estetika, dan arsitektural yang khas. Sebuah kota yang akan dikenang sejarah adalah apabila dibangun di atas pilar kebudayaan yang melahirkannya. Di sini saya mereguk cinta yang ditawarkan Negeri Butuni.

Lalu di penghujung 2006, saya kembali mengelana di negeri yang disebut pusat bumi. Saya datang bersama penyair Irianto Ibrahim dan fotogrefer Arif Relano Oba, keduanya berdarah daging Butuni. Sulawesi Tenggara harus berbangga memiliki dua anaknya yang menjadi seniman. Keduanya telah memperkenalkan khazanah lokal melalui puisi dan karya foto ke penikmat seni. Kami bertiga menjadi pemateri Pelatihan Musikalisasi Puisi bagi Siswa SLTA se-Kota Bau-bau.

Mengangungkan, walikota Bau-bau M.Z. Amirul Tamim, yang membuka pelatihan itu memiliki kepekaan dan naluri puitika yang bagus. Usai memberi sambutan dan membuka secara resmi, ia pun melontarkan puisi yang dicipta seketika. Ia lahir sebagai improvisasi. Isi yang dikandungnya mengenai kecintaan pada Butuni, rakyat, dan warisan kesultanan.
Belum kau kunjungi Butuni sebelum bertandang ke Benteng Keraton Buton. Inilah keyakinan yang harus dicamkan pengunjung budaya. Butuni identik dengan Benteng Keraton Buton. Bahkan penyair sufi asal Madura D. Zawawi Imran yang ke Kendari saat MTQ Nasional silam, berkunjung ke Keraton dan mencipta puisi di sana. Engkau masuk dari arah mana? Utara, timur, selatan, atau barat? Dari gerbang lawana anto, lawana kalau, atau lawana labunta?

Eit, jangan bangga dulu. Apakah Anda sudah berpose di liang persembunyian Arung Palakka sang Raja Bone?. Namun, belum sempurna kau berkunjung ke Keraton Buton bila tidak mampir ke Makam Sultan Murhum (Sultan Muhammad Yisa Kamimoeddin). Dijemput doa-doa murni oleh ina-ina, engkau pun dipersilahkan menaiki tangga purba dan tua, lalu menghikmati makam bersejarah itu. Setelah itu Anda boleh tafakkur di Masjid Agung Keraton. Di sini, Cinta (dengan C kapital) benar-benar menyongsongmu.

Di depan masjid terdapat “papan pengumuman” berwarna hijau dan tertulis Batu Popaua. Konon di Batu Popaua, di situlah pertama kalinya Wakaakaa menginjakkan kakinya di bumi Butuni. Sehingga dalam sejarah kerajaan/kesultanan Buton, Batu Popaua menjadi tempat pelantikan raja dan sultan. Masih di dalam Benteng Keraton, Anda dapat melihat-lihat keunikan rumah adat Malige, atau jangkar besar, serta daftar urutan raja/sultan yang pernah memimpin. Dan Anda boleh hormat dan takzim di depan tiang bendera yang menjulang ke cakrawala. Konon ia lebih tua dariapda masjid keraton. Dialah penyaksi sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton. Ia menyimpan darah, airmata, cinta, pusaka, dan cerita yang abadi.

Dengan demikian, Benteng Keraton Buton merupakan warisan sejaran dan budaya yang tak ternilai harganya. Mungkin karena keeksotikannya sehingga cerpenis muda Indonesia berdarah Buton, Waode Wulan Ratna, melahirkan cerpen bernuansa Buton. Cerpennya yang terakhir mengeritik sistem strata sosial di Buton yaitu kaomu, walaka, batua, dan papara. Sehingga dalam cerpennya yang berjudul “Bula Malino” tokoh Harima berstrata kaomu ingin menikahi La Sinuru yang berstrata batua. Inilah adalah pesan dan upaya “menyamakan” derajat kemanusiaan setiap insan. Hal ini juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan Oka Rusmini dalam karya sastranya atas strata social di Bali.

Namun, sebelum pulang meninggalkan Butuni tahun 2006 itu, saya harus melepas kepenatan di Pantai Kamali di malam hari. Pantai Kamali, sebuah ranah yang menjadi ikon lain Kota Bau-bau. Lampu mercury berjajar sepanjang pantai seumpama matahari mungil yang binar. Di pinggir pantai, ibu-ibu dan anak gadisnya yang disapa waode, memanjakan pengunjung dengan makanan dan minuman yang beragam. Singgah pak. Mau minum saraba, kacang goreng, atau fanta? Jangan malu-malu, dan.

Sambil membuka kulit kacang, saya dilanda kenangan atau ironi. Memang banyak orang serupa kacang, yang lupa akan kulitnya. Wow, kureguk saraba sambil memandang gedebur gelombang. Beberapa kapal kayu yang dierami lampu warna-warni, siap menghantar penumpang ke kampung halaman. Ada yang bertolak ke Wanci, Tomia, atau Bungku Sulawesi Tengah. Dan inilah pemandangan yang menjadi kenangan tak terlupakan. Aku masih sempat menaiki KM. Acita yang karam itu. Oh nasib. Oh takdir. Oh maut. Oh Cinta.

Waina, sepulang dari pantai terdengar suara gambus dan syair dari sebuah gudang. Kami masuk dan melihat tontonan langkah. Seorang ode tua mengiris malam dengan pertunjukan kabhanti, kesenian tradisi yang hanya dimiliki negeri ini. Negeri Butuni sangat terasa karakter dan kekhasannya. Sebuah wilayah yang memiliki akar tradisi kuat ditopang oleh kehidupan agamis yang rekat. Kabhanti, sebuah puisi tak terperi.

Pembaca budiman, apa yang saya tulis ini adalah pandangan atas Neegri Butuni dari satu sisi, dan sebagaimana sebuah daerah, ia memiliki beratus sisi yang siap dimasuki. Paling tidak ada sisi gelap dan sisi terangnya.

Pagi hari, pukul 07.30. Saya meninggalkan Butuni. Seombak demi seombak, kapal cepat menderu dan menyeru: selamat tinggal Negeri Butuni, negeri para wali, dan negeri pujangga.***

Kendari--Bau-Bau, 2006

Tidak ada komentar: