Ita Windasari

istriku. azan magrib mengulum matamu. alismu rebah terbangun. rambutmu yang magrib lelap di leherku. kuhikmati ranumnya seperti menyuntuki batubatu tasbih. merah di luar kamar bercengkerama di keningmu. matamu terbuka seumpama fajar terluka. bilal mengundang ke perjamuan magrib. menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman.

Minggu, 27 Maret 2011

Tudung Saji Perempuan Losalimo


Cerpen: Raudal Tanjung Banua

Di sebuah hotel kecil di bilangan Jalan Kartini, Baubau, perhatianku tertarik pada tudung saji yang menyungkup makanan di atas meja. Lebih dari menu kaparende dan ikan putih yang membangkitkan selera, tudung saji itu memberi arti tersendiri bagiku. Terbuat dari rotan, berwarna putih kekuningan, sedikit berkilat meski tanpa plitur. Ukurannya cukup besar. Secara bentuk biasa saja. Bundar, minimalis, tanpa aksesoris. Tapi justru itu membuat aku tertarik: menyiratkan kepercayaan diri dan kekuatan tangan yang menganyam. Aku teringat tangan nenekku yang kukuh menganyam tikar pandan, pun tudung saji, malam demi malam.
            Semula aku kira, pengelola hotel mendapatkannya dari kantor Dewan Kerajinan Daerah (Dekrada) yang kebetulan berdampingan dengan hotel itu. Namun ketika aku masuk ke kantor yang punya ruang pamer tersebut, tidak satu pun kutemukan benda serupa, bahkan penjaganya tidak tahu tudung saji macam apa yang kumaksud. Akhirnya, aku tanyakan kepada suami-istri pemilik hotel di mana mereka mendapatkan barang ini.
            “O, kasongkopi? Ini dibawa perempuan dari Losalimo, Bapa. Itu orang biasa berkeliling menawarkan dia punya barang, tapi tidak sering,” kata sang istri dengan logat Timur yang kental.
            “Maksudnya tidak sering bagaimana, Bu?” tanyaku.
            “Begini Bapa: itu orang kadang datang kadang tidak, dan ini sudah lama sekali mi tidak pernah lihat lagi. Biasanya dia orang menawarkan kasongkopi ke warung-warung dan hotel di sepanjang jalan ini, kadang sebulan sekali, dua bulan sekali, tidak tentu. Mungkin pada waktu lain ia di tempat lain, tapi mungkin pula memang hanya tiap sebulan atau dua bulan itu barangnya ada. Sebab seperti katanya, Bapa, kasongkopi ini dia sendiri yang buat.”
            “Begitukah?” aku takjub mendengar penjelasannya. “Jadi...dia dari Losalimo?”
            “Ya, Losalimo, 90 km dari sini, tapi biasa ditempuh lima jam lebih. Soalnya jalan di Buton pada rusak, Bapa, bertahun-tahun dibiarkan seperti kali mati. Merana, Bapa, merana,” kali ini sang suami yang menjawab.
            “Padahal Buton punya tambang aspal besar di Kabungka,” istrinya menyela, seperti bergumam. Tentu saja aku ingat di sekolah dulu diajarkan bahwa Pulau Buton penghasil aspal di tanah air. Aku pun sudah melewati jalan Baubau-Pasarwajo kemarin; jalan raya yang hancur, justru menuju pusat penghasil aspal. Sudah begitu, masih saja ada pungutan retribusi jalan di Desa Wakaokili. Di pelabuhan Banabungi kulihat aspal teronggok siap dikapalkan, mungkin ke Surabaya atau langsung ke Cina. Entah. Sementara anak-anak sekolah dengan baju kumal kulihat menempuh jalan pintas berlumpur melewati kebun jambu mete yang merimba. Tapi, sementara kutepis cerita tentang aspal, meski menyodorkan ironi besar. Kini aku pusatkan perhatian lebih kepada perempuan pengrajin kasongkopi dari Losalimo.
            “Orangnya sudah tua tapi masih kuat. Ia berjalan kaki di bawah terik matahari menyusuri jalan Kartini ini, barangnya dipanggul atau disunggi, seolah ia akan ke pelabuhan Murhum mengejar jadwal kapal Sagori ke Kendari. Oya, dia selalu memakai salenda, Bapa.”
Salenda?”
“Ya, kain penutup kepala.”
“Tengkuluk?”
“Mungkin semacam itu,” ia mengangguk agak ragu. Ingatan pada nenek pun bertambah bangkit di hatiku. Aku berharap perempuan itu datang selagi aku masih tinggal di hotel ini, atau sepanjang sisa waktuku di Buton. Jika ia datang, aku tak keberatan membeli sebuah tudung saji, meskipun ukurannya cukup besar untuk kuboyong ke Jawa.
            “Apakah menurut ibu ia akan datang dalam waktu dekat?”
            Mi tidak tau, Bapa. Tapi jika mau, Bapa bisa pergi ke Pasar Wameo di selatan kota, sebab katanya jika barangnya tidak habis, ia biasa menitipkan di sebuah kios di sana. Tapi mi tidak juga tau di kios siapa.”
            Ketidaktahuan dan jawaban yang sepotong-sepotong telah membuat rasa penasaranku makin membesar. Entah kenapa aku selalu membayangkan perempuan itu; selalu, berbaur dengan bayangan nenek. Apakah karena aku terlalu merindukan sosok nenek yang tidak sempat kujenguk saat ia meninggal beberapa waktu lalu di Sumatera? Ada rasa bersalah dan ketidakberdayaan yang membuat darahku gampang tersirap bersua hal-hal yang melekat pada diri nenek: anyaman, tengkuluk, dan kerja keras yang dilangsungkannya sendiri.
***

Kini aku mendapatkan sosok perempuan pekerja keras di Buton—seperti nenek!
  Bersama Yusri, panitia workshop penulisan yang kuisi, aku berangkat ke pasar Womeo. Meski tidak tahu siapa nama perempuan yang kucari, ternyata dengan menceritakan tingkah-polanya membawa kasongkopi, beberapa orang di pasar langsung tahu.
“Di kios paling ujung, Bosku, di sana ia menitip sisa barangnya,” kata seorang pedagang ikan yang hitam berdegap. Ia agak kocak dan selalu memanggil kami “Bosku”.
“Masuk lorong sini, belok kiri, lalu lurus, pasti ketemu, Bosku. Bilang Ibrahim raja ikan beri tahu, meski kiosnya menjauh dari bau ikan...” Beberapa orang lainnya membenarkan sambil tertawa mendengar kalimat Ibrahim.
Tidak sulit mencari kios yang dimaksudkan si pedagang ikan. Maklum kami sampai ketika pasar sudah sepi. Pasar Wameo memang pasar pagi, namun setelah jual-beli pagi hari usai, beberapa kios di los pasar tampaknya terus buka. Benar saja. Kios paling ujung itu khusus menjual barang-barang anyaman. Tikar, keranjang, penampi beras, tempat kue dan tudung saji. Bahannya rotan dan pandan. Sayang, tudung saji minimalis seperti yang di hotel sudah tidak ada. Yang ada tudung saji berkaki tinggi seperti cerana dan bahannya pun berbeda. Hanya kerangkanya saja dari rotan, sedangkan anyamannya dari rumput pandan (tapi bukan pandan) yang konon bentuknya seperti bambu tapi tidak memiliki ruas. Kata laki-laki penjaga kios, rumput jenis itu hanya ada di Buton.
“Namanya rumput pandan, Bapa, bukan rumput, bukan pandan, hanya ada di Buton. Ini dikerjakan oleh para pengungsi Ambon,” ia sedikit berpromosi. 
            Aku sebenarnya mulai kehilangan selera dengan benda itu sebab tidak seperti yang kuinginkan. Tanpa bermaksud mengabaikan nada getirnya ketika menyebut pengungsi Ambon, aku katakan padanya bahwa aku berniat mencari anyaman tangan seorang perempuan Losalimo.
“O, Losalimo, yang ini, Bapa.” Ia menunjukkan beberapa tudung saji yang bentuknya bulat, berkaki dan punya penutup melengkung seperti kubah. “Ini sisa titipan Kakak Insani bulan-bulan kemarin. Sekarang kakak belum lagi datang.”
Aku sentuh anyaman pada tudung saji itu, terasa halus dan rapi.  Sayang bukan jenis yang kucari, meski tak urung aku mulai ingin memiliki. Toh penganyamnya tetap perempuan perkasa dari Losalimo (o, jadi namanya Nenek Insani!). Losalimo, sebuah tempat berjarak 90 km di pantai timur Pulau Buton, dengan jalan yang buruk meski Buton adalah pulau penghasil aspal. Hampir saja aku berbalik badan jika tidak teringat sosok perempuan yang kubayangkan. Mula-mula memang kubayangkan sebagai nenekku, namun berikutnya aku penasaran siapa dia sebenarnya? Mengapa mesti dia yang menganyam, dan menjualnya ke kota? Mengapa semua ia lakukan sendiri?
            “Dia saudara perempuan saya, Bapa. Ya, Kakak Insani namanya. Memang kakak sendirilah yang membuat semua ini. Dia tak punya anak, sebab suaminya meninggal tidak lama setelah kakak menikah.  Dan sejak itu, berpuluh tahun ia tak mau menikah lagi.”
            Tentu luar biasa jika bertahun-tahun sejak suami meninggal, sang istri bertahan tidak menikah, meski kejadian seperti ini ada di banyak tempat. Namun demi melihat mata si bapak yang redup dan kalimatnya memendam sesuatu, aku menganggap sikap perempuan Losalimo itu pasti lebih luar biasa lagi. Maka aku terus menggiring si bapak bercerita.
            “Suami kakak saya, sebagaimana beratus-ratus yang lain, suatu malam dijemput orang tak dikenal. Mereka dianggap simpatisan partai terlarang. Mereka mengalami penyiksaan sebelum akhirnya dilepas, dan itu masih lebih baik. Tapi suami kakak saya, Bapa, beserta puluhan tahanan lain yang tak beruntung, tak pernah lagi kembali. Mungkin mereka dibuang ke sebuah pulau dan bertahun-tahun kemudian pulau itu dinamai Pulau Ular. Kami tahu, nama itu sengaja diciptakan untuk menakut-nakuti penduduk supaya tidak ke sana. Namun diam-diam beberapa nelayan ke sana dan mendapatkan banyak tengkorak dan tulang-belulang tak dikenal. Satu di antaranya pastilah tengkorak kakak ipar saya. Waktu ia dijemput ia baru bertugas di Baubau sebagai staf bupati Kasim.”
            Aku memejamkan mata dengan ingatan yang diseret pada buku yang pernah kubaca. Tragedi Buton 1969. Ya, empat tahun setelah huru-hara politik 1965, tragedi yang sama terulang di timur tanah air.  Pulau Buton dituduh sebagai basis kebangkitan partai terlarang. KRI Dompu yang berlayar dari Tanjung Priok ke Maluku, dituduh mendrop senjata ketika singgah di Teluk Sampolawa. Bupati Buton, M. Kasim, ditahan menyusul ratusan orang lainnya hilang tanpa pengadilan. O, Tuhan, mengapa selalu ada pedih yang sama ke sudut mana pun kita pergi di bumi ini? Aku bergumam dalam pedih.
            Kini bayangan nenek terasa kian nyata menjelma dalam sosok perempuan bernama Insani itu. Meski wajahnya tak langsung kujumpai, tapi melihat sederet hasil anyaman tangannya, aku merasa telah bertemu dengan dirinya secara utuh. Sebab ketahuilah, di antara anyaman-anyaman itu, tersirat ketabahan dan jejak waktu, suaka bagi perempuan-perempuan yang menunggu. Meski tahu yang ditunggu tak mungkin kembali, tapi anyaman demi anyaman telah menyelamatkan mereka dari runtuh!
            Ya, seperti nenek yang bangkit dari keruntuhannya, bertahun-tahun setelah kakek tertembak di hutan Balai Selasa oleh pasukan tentara “Pusat”. Ketika itu, Dewan Benteng “memproklamirkan” berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) mengoreksi kekuasaan yang memusat. Mereka juga menuntut dikembalikannya Bung Hatta sebagai dwi-tunggal. Angka tahun merujuk 1958. Jakarta menjawab dengan operasi militer. Kakek ikut masuk hutan, sampai terdengar kabar ia tertembak. Sejak itu nenek kian tekun menganyam tikar pandan, tudung saji dan sesekali kursi rotan—bukan sekadar perintang waktu! Ah, nenek tidaklah sendiri, ternyata. Jauh di Losalimo ada duka dan upaya yang sama.
“Baiklah, Pak, terima kasih atas ceritanya,” hanya itu yang sanggup kuucapkan kepada laki-laki penjaga kios itu. Mata kami sebenarnya sama berkaca-kaca, meski mungkin ia tak tahu. Kini, tanpa banyak berkata-kata lagi, kuputuskan memboyong sebuah tudung saji perempuan Losalimo ke Yogya, sebagai hormatku pada dia dan kenangan pada nenek. Sesekali bakal dapat kuamsal sebagai “monumen” ketabahan anak tanah air—menganyam hari-hari, malam demi malam, melupakan kepedihan, tragedi demi tragedi....   
Buton-Yogya, 2009-2011



Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. Buku cerpennya antara lain, Parang tak Berulu (Gramedia Pustaka Utama, 2005). 

Foto: Raudal Tanjung Banua di Benteng Keraton Buton tahun 2009 (Foto: Syaifuddin Gani)

Tidak ada komentar: